Go home

1.2K 205 42
                                    

Hanif memasuki rumah mewah di kawasan elit ibukota ini dengan perlahan, suasana hatinya sangat baik malam ini, makanya ia memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah utama.

Helaan napas pelan terdengar, sang Ayah sudah menunggu disofa ruang tamu, "Malam, Pa." Ucapnya, membuat lelaki paruh baya tadi mengangkat pandang.

Senyum lebar tercipta, Bagus bangkit dari duduknya, "My bro." Seru lelaki itu tak bisa menyembunyikan rasa senang, "Akhirnya dateng juga."

Hanif duduk tak jauh dari Ayahnya, "Hadif mana?"

"Lagi mandi." Jawab sang Ayah, "Udah makan, Nif? Kamu keliatan lebih kurus." Bagus meletakkan ponselnya di meja, "Jangan terlalu memforsir diri kamu, Nif. Soal kerjaan ini masih ada Dipta, masih ada Papa, jangan kamu kerjain semuanya sendiri. Kamu itu masih muda, udah seharusnya nikmatin masa muda kamu dengan sebaik-baiknya. Papa gak pernah nyuruh kamu buat kerja keras sampe lupa makan begini."

Sedangkan sang anak terkekeh mendengarnya, "Akhir-akhir ini Dipta keliatan lebih sibuk."

Bagus mengangguk, "Dia lagi ngerjain semua kerjaannya, katanya mau ambil cuti seminggu, mau liburan sama Harell."

Hanif terlihat berfikir sejenak, "Kayaknya Hanif mau nyari asisten pribadi deh, Pa."

Sang Ayah menaikkan alisnya, "Udah ada calonnya, apa mau Ayah carikan?"

Pertanyaan itu dibalas dengan gelengan kepala oleh Hanif, "Hanif nyari sendiri aja." Jawabnya, walau belum memiliki kriteria khusus untuk calon asistennya, Hanif rasa hanya akan merekrut orang-orang terdekatnya saja, maka dari itu lelaki ini menolak tawaran sang Ayah.

Hadif turun dari lantai dua dengan handuk di kepalanya, Hanif yang melihat hanya sedikit tersenyum.

"Orang sibuk ini akhirnya keliatan juga." Sindir sang kembaran, sedangkan Hanif hanya meresponnya dengan tawa pelan. "Dua kali makan malem lo gak dateng, jangan-jangan waktu nikahan gue nanti lo gak dateng juga."

Hanif menghela napas, "Kalo nikahan mah pasti dateng, Dif. Yakali gak dateng." Ujarnya, "Jadinya kapan, kata Dipta udah nentuin tanggal ya?"

"Masih lama." Dengus Hadif, lalu lelaki itu berjalan menuju dapur.

Bagus tertawa, membuat Hanif menoleh, "Hadif mau secepatnya, tapi Jana gak mau buru-buru, makanya muka kembaranmu itu cemberut mulu."

Hanif tersenyum kecil, Hadif memang seperti itu, walau kelihatannya lebih tenang, lelaki itu sangat terburu-buru dalam beberapa hal, termasuk meresmikan hubungannya ke jenjang pernikahan.

Hadif tak pernah main-main dengan hubungannya, bahkan ketika ia bersama Raysa, ada banyak hal yang sudah ia persiapkan. Namun ternyata, takdir tak merestui keduanya.

Hanif mengehela napas, banyak doa yang ia panjatkan dalam hatinya untuk sang kembaran, semoga kebahagiaan Hadif kali ini tak akan pernah menjadi kesedihan baginya.

🏷️

Entah apa yang terlintas di kepala Hanif, karena sekarang lelaki ini berdiam menatap toko ayam tempat Zio bekerja. Sepulang dari rumah sang Ayah tadi, Hanif merasa perlu mencari angin sebentar, lalu sampailah ia disini.

Lelaki ini menyandarkan punggung, toko yang ia amati sudah sepi, mungkin sebentar lagi akan tutup, mengingat sekarang sudah hampir pukul 11 malam.

Masih belum terpikirkan oleh Hanif, kenapa Zio bekerja di dua tempat yang berbeda dalam satu harinya, apakah lelaki itu tidak lelah? Apa ia sangat membutuhkan uang?

Sibuk dengan pikirannya, Hanif seakan tersadar ketika melihat Zio yang baru saja keluar dari toko, lelaki ini buru-buru memajukan mobilnya untuk mendekat.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang