All I want is you

1.4K 214 73
                                    

Menyandarkan kepala pada sandaran sofa, Zio perlahan menutup mata, kepalanya dilanda sedikit pusing, entah apa penyebabnya.

Hanif yang baru saja membereskan laptop, langsung berjalan pelan menghampiri sang kekasih, tangannya terulur memeriksa suhu badan yang lebih muda, membuat Zio perlahan membuka mata. "Ngantuk?" Tanyanya.

Zio menggeleng pelan, "Pusing dikit." Jawabnya.

Segera duduk disebelah Zio, Hanif menatap kekasihnya ini khawatir, "Mau ke rumah sakit?" Ditanya seperti itu, membuat Zio tertawa.

"Cuma pusing dikit, Mas, aku gapapa." Ucapnya.

Lelaki ini menggeser duduknya, mendekati Hanif dan menyandarkan kepala pada dada bidang sang kekasih, juga menikmati elusan pelan di kepalanya, mata Zio kembali terpejam pelan, "Mas?"

Hanif sedikit menundukkan kepala, "Ya, sayang?"

"Aku kayaknya jarang banget bilang ini, tapi aku benar-benar berterima kasih banget sama Mas Hanif, gak pernah nyangka kecerobohan aku dulu itu bikin aku deket sama Mas." Ceritanya, sedangkan Hanif diam mendengarkan, "Aku—sayang banget sama Mas Hanif."

Zio sempat terdiam sesaat, "Mas..." Ada jeda yang lelaki ini ambil, "Bener ya, aku mirip masa lalunya Mas Hanif?"

Hanif terdiam, benar-benar mematung mendengarnya. "Sayang—"

"Aku gak marah." Lanjutnya cepat, "Aku cuman pengen tau, kalau dipikir-pikir, gak banyak yang aku tau tentang Mas Hanif, Mas Hanif gak pernah cerita apapun." Zio terdengar menghela napas, "Aku pengen tau tentang Mas Hanif, aku pengen denger Mas berkeluh-kesah, aku pengen tau semuanya, biar aku punya alasan buat gak percaya omongan orang lain tentang Mas Hanif."

Tak pernah terbayangkan dikepalanya, Zio akan bertanya demikian, Hanif terlihat menipiskan bibir, "Sayang, dengerin Mas dulu." Lelaki ini menunduk, membuat Zio yang telah membuka matanya mendongak. "Mas bukannya gak mau cerita, sayang. Mas cuman gak mau ungkit-ungkit masa lalu lagi, karena bagi Mas sekarang, masa lalu ya hanya sebagai masa lalu, cerita masa remaja Mas aja, Mas udah benar-benar selesai, dan sekarang cuma ada Zio sama Mas."

"Tapi aku pengen tau." Zio menekuk bibir, tak kuasa membuat Hanif sedikit menarik ujung bibir.

Lelaki ini membenarkan duduknya, ia menghela napas, "Iya, Zio memang mirip sama masa lalunya Mas." Ucap Hanif, sontak membuat Zio menaikkan alis, "Mas penah deket sama... Arjana.. tapi karna kesalahan Mas sendiri gak bisa ngebagi waktu, ternyata perasaan Jana udah berpaling." Ada senyum tipis yang Hanif bagi pada Zio yang menatapnya lekat, "Makanya waktu Mas gak sengaja ketemu kamu pertama kali, Mas kaget. Mas ngerasa liat Jana dalam versi yang beda, karna itu Mas mulai penasaran sama kamu. Beberapa kali Mas nyoba buat deket sama kamu, dan atas bantuan Radika, Mas bisa rekrut kamu jadi asisten pribadi."

Zio diam memperhatikan Hanif, "Tapi seiring berjalannya waktu, Mas ngerasa perbedaan Zio sama Jana makin keliatan, Mas makin terbiasa dengan adanya Zio, perasaan asing, perasaan sepi yang Mas rasa mulai hilang karena adanya Zio, di malam ketika Mas cium kamu pertama kali, Mas udah yakin banget sama perasaan Mas dan pengen mulai semuanya sama Zio." Hanif kembali mengecup sayang puncak kepala kekasihnya, "Mas sayang banget sama kamu, Zi, bener-bener sayang sampai Mas gak bisa bayangin kalo suatu saat kita berdua beneran gak bisa sama-sama." Ada kekehan di akhir ucapannya, Zio menatap iba lelaki ini.

"Kok ngomongnya gitu." Zio cemberut.

"Zio dengerin Mas." Hanif memegang pundak Zio, mengambil semua atensi yang lebih muda agar berfokus padanya, "Mas ini bukan orang yang baik, Zi. Mungkin ada banyak banget kesalahan di masa lalu yang bikin orang-orang sakit hati dan dendam sama Mas, ada banyak orang yang pengen ngejatuhin Mas. Karna alasan itu juga Mas gak ngasih izin Zio bepergian tanpa pengawasan." Mendengar itu Zio diam, teringat kembali ketika dirinya tak sengaja bertemu Raysa, dan bagaimana perempuan itu memintanya agar menjauhi Hanif.

Menganggukkan kepala, "Iya, aku sekarang ngerti." Zio merasakan perasaan bersalah bersarang dihatinya. "Maaf." Lanjutnya, Zio memeluk erat Hanif, menyalurkan perasaannya pada yang lebih tua.

"Zio udah mau tidur?" Hanif bertanya, "Mending kita pindah ke kamar aja, sini Mas gendong ke kamar."

Dengan senang hati Zio merentangkan tangannya, membuat Hanif terkekeh pelan, "Bayi." Katanya.

Keduanya masuk ke kamar, membaringkan Zio kemudian lelaki ini juga ikut berbaring di sebelah yang lebih muda, memeluk kekasihnya itu dengan sebelah tangan yang mengelus-elus kepalanya.

Zio senang ketika Hanif memeluknya seperti ini, lelaki ini senang dengan semua perhatian yang Hanif berikan, yang sebelumnya tak pernah Zio dapatkan. Zio amat senang ketika ada yang menyayanginya seperti yang Hanif lakukan.

Hanif sepertinya memiliki hobi baru sekarang, memberikan kecupan singkat dipuncak kepala yang lebih muda, entahlah, Hanif selalu suka dengan semerbak wangi strawberry yang melekat di seluruh badan Zio. "Sayang?"

"Hm?"

"Keluarga seperti apa yang Zio impikan?" Tanyanya, membuat yang lebih muda mendongak, "Mas pengen ngasih segala kenyamanan untuk Zio, tapi Mas juga pengen tau, keluarga seperti apa yang Zio impikan selama ini, biar kita bisa wujudkan bareng-bareng."

Zio terdiam, kepalanya berfikir dengan alis yang bertaut, raut wajahnya serius, membuat Hanif menarik ujung bibirnya. "Aku pengen kita bahagia sampai tua, Mas." Ucapnya semangat, "Hm, aku mau punya anak cewek satu, nanti rambutnya panjang, biar sebelum berangkat sekolah aku eksekusi dulu rambutnya dengan berbagai macam hair style yang kekinian." Zio membenarkan badannya, menghadap ke langit-langit kamar, matanya menerawang jauh, "Aku gak begitu tau tentang kasih sayang, tapi nanti aku bakal kasih semua kasih sayangku buat anakku, gak akan pernah aku biarin dia nangis sendirian, gak bakal aku biarin dia kesusahan sendirian, aku bakal ngasih semua hal yang paling berharga di dunia ini untuk anakku." Ucapnya menggebu-gebu.

"Trus, nanti kamu lebih sayang sama anakmu dong, dibanding sama Mas." Hanif mengerutkan kening.

Zio mendelik, "Mas ini, anak belum ada juga udah ngomong kayak gitu." Protesnya, "Nanti aku mau dipanggil apa ya, sama anakku?"

Hanif memperhatikan wajah bingung sang kekasih dengan senyum yang tak lepas dibibir, "Daddy?" Usulnya.

Dengan cepat Zio menggeleng, "Kalo Daddy tuh, agak gimana ya, aku kurang suka." Jawabnya, "Tapi, Mas Hanif kayaknya bakalan cocok deh kalo nanti dipanggil Daddy." Zio menoleh, "Daddy." Lelaki ini sepertinya sengaja bermain-main dengan Hanif.

"Mulai sekarang panggil Daddy aja." Ujar Hanif cepat, membuat Zio menggelengkan kepalanya dengan tawa yang lepas.

Hanif ini memang tidak bisa diajak bercanda, pikirnya. "Gak, yaa." Zio menggeleng, "Mas Hanif aja udah paling cocok." Lanjutnya, Zio kembali berfokus pada scenario yang ia rangkai di kepalanya, lelaki ini menoleh pada Hanif, "Nanti aku gak mau rumah yang besar, aku cuma mau rumah yang sederhana-sederhana aja, biar enak kalau kumpul keluarga. Aku mau rumah dengan taman belakang yang luas. Mas, kayaknya seru deh kalo kita berkebun."

Hanif menanggapinya dengan tawa, "Iya sayang, iya."

Mendengar jawaban Hanif yang sepertinya pasrah-pasrah saja, Zio menatap lekat kekasihnya ini, "Kalau Mas Hanif pengen keluarga yang seperti apa?"

Hanif terlihat berfikir, lalu tersenyum tipis. Menolehkan kepalanya pada Zio, membalas tatapan itu membuat keduanya beradu pandang, "Keluarga yang didalamnya ada kamu, Zi, all I want is you."

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued...

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang