Get well soon

1.4K 204 48
                                    

"Gak mau makan lagi." Zio menolak ketika Radika hendak memberikan sesendok nasi kedalam mulutnya.

Mendengar ucapan penolakan itu Radika cemberut, "Harus habis." Katanya, "Kalo nggak, nanti gue yang dihabisin Hanif."

Zio tertawa mendengar itu, Radika dan segala ucapannya yang sering dilebih-lebihkan, "Udah kenyang, Kak Dika."

Menjelang sore tadi, Hanif mendapatkan telepon dari Dipta yang menyuruhnya ke kantor karna ada proyek yang harus mereka diskusikan, karna Hanif tetap tak bisa datang, dan lelaki itu menolak untuk membawa Zio ke kantor, dengan sangat berat hati Dipta yang mendatangi apartmennya bersama Radika, atas suruhan Hanif tentunya.

Jadi selama Hanif berdiskusi dengan Dipta diruang tengah apartemennya, Radika lah yang menjaga Zio di kamar lelaki itu, karna Hanif tak membiarkan yang lebih muda sendirian.

Radika mendengus, walau sebenarnya ingin memaksa agar Zio menghabiskan makanannya, tapi Radika sendiri pun tak tega, ia menaruh mangkuk nasi Zio di atas nakas, lelaki ini tersenyum pada Zio, "Lo udah jadian sama Hanif kok gak bilang-bilang." Ujarnya, "Padahal gue ini berperan sangat besar dihubungan kalian." Ia memberikan raut cemberut.

Sekali lagi Zio tertawa, lalu menghela napasnya dengan kasar, "Kan emang gak jadian."

Alis Radika menukik, bingung dengan jawaban Zio, "Loh, kemaren kata Hanif itu kalian udah jadian."

"Nggak." Bantahnya, "Ah udahlah Kak Dika, gue juga bingung."

Radika sempat terdiam, "Apa karna ada Hadif, ya?" Ucapnya pada diri sendiri, yang sayangnya masih bisa Zio dengar.

Lelaki itu mendekat, "Emangnya kalo ada Kak Hadif kenapa?"

Tak mungkin Radika menceritakan semuanya pada lelaki didepannya ini, sempat terdiam sesaat, Radika memberikan tampang konyol, "Hadif tuh khawatir banget sama Hanif, soalnya belum pernah pacaran, sedangkan Hadif kan, lo tau sendiri udah mau nikah." Ucapnya, kembali memulai drama, "Nah, kalo Hadif udah nikah, Hanif jadi sendiri yang bener-bener sendiri, gak ada tempat buat bertukar pikiran lagi, soalnya gue denger-denger, si Hadif nantinya mau tinggal di Jerman sama Jana."

Zio mendengarkan dengan serius, lelaki ini menunduk kemudian, "Jadi Kak Hanif takut Kak Hadif khawatirin dia, ya?" Tanyanya pelan, sedikit merasa bersalah telah menganggap perasaan Hanif hanyalah bohong semata.

Radika mengangguk ribut, juga ikut menampilkan wajah sedihnya. "Makanya Zi, jangan tinggalin Hanif, ya." Pintanya, tangan lelaki itu bahkan sudah menggenggam erat tangan Zio, "Hanif itu udah banyak banget menderitanya, udah saatnya dia bahagia. Kalo nantinya kalian beneran jadian, gue bakal dukung kok, beneran deh. Hanif itu emang kaku, susah mengekspresikan perasaannya, makanya dia butuh lo, Zi, soalnya semenjak ada lo disisinya, dia keliatan lebih bahagia."

Apa benar begitu? Batin Zio rasanya riuh dengan banyak pertanyaan yang bermunculan ketika mendengar setiap kata yang Radika ucapkan tadi. Tapi sejauh yang Zio tau, Radika memang orang yang sangat mengenal Hanif, makanya Zio percaya pada lelaki ini.

Sudah saatnya menampik ragu yang bertengger dihatinya, Zio akan benar-benar meneguhkan pilihan untuk bersama Hanif. Maka lelaki ini memberikan senyumnya pada Radika, dengan kepala yang mengangguk, "Iya, Kak Dika, walau gak tau apa yang bakal terjadi kedepannya, tapi gue janji bakalan selalu disamping Kak Hanif." Ucapnya, walau sedikit agak malu mengungkapkannya.

Radika tersenyum senang, lalu kembali mengambil mangkuk nasi Zio, "Pinter. Sekarang makan lagi."

"Gak mau." Zio yang semula tersenyum lebar, langsung memberikan tampang datarnya, dan menutup wajah menghindari suapan yang akan Radika berikan padanya.

DisparateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang