BIG SIN III - Five

365 18 0
                                    

Multimedia: Clarissa Angeline

*-----*

               Terdengar bunyi yang mengganggu, bunyi yang sama semenjak beberapa saat lalu. Sedikit mendengung dibagian telinga dan menimbulkan sakit berdenyut di belakang kepala. Zahra merasa terganggu dengan bunyi yang sedari tadi didengar olehnya, tapi ia tak bisa membuka mata atau bahkan memberi suara pada siapapun yang mungkin akan mendengarnya.

Ujung lidahnya terasa pahit dan kaku, bibirnya terasa kering dan sakit. Ada apa dengan dirinya? Dimana ia sekarang?

Zahra mencoba menggerakkan badannya yang terasa panas dan sakit di seluruh bagian. Gadis itu merasakan usapan lembut di keningnya. Ia tahu itu pasti Dika, ia sudah mengenal tekstur tangan lembut namun kokoh milik kekasihnya.

Satu kecupan mendarat. Tapi gadis itu yakin kalau itu bukan kecupan dari Dika. Zahra sudah terlalu sering di cium oleh kekasihnya dan ia tidak mungkin lupa tekstur kenyal dan berisi dari bibir milik si tomboy yang selalu mendarat di seluruh bagian tubuhnya.

Bibir ini lebih tipis dan lebih kering dibandingkan dengan bibir milik kekasihnya. Tak lama semenjak kecupan itu mendarat, samar-samar Zahra mendengar suara isak tangis "Terimakasih sudah menjemput Ibu, nak Dika. Semenjak kemarin, Ibu ndak bisa tidur karena terpikir Zahra" barusan itu suara Ibunya Zahra -Nurunnisa Azzahra.

Suara lembut dan nada bicaranya yang sedikit medok karena tinggal di daerah suku jawa, membuat Zahra terenyuh. Betapa rindunya ia dengan suara lembut milik Ibunya ini. Sudah beberapa bulan ia tak bertemu sapa dengan Ibunya? Apakah dia sehat dan baik saja?

Zahra ingin sekali merengkuh wanita tangguh itu dengan segera. Tapi dirinya masih tak mampu menggerakkan badan. Meskipun otaknya sudah berusaha sekuat tenaga untuk memerintahkan semua bagian dari tubuhnya bergerak, tubuhnya tetap tak mendengar. Ia tetap saja terdiam.

"Tak apa bu, Khumaira juga merengek terus semenjak kuliah berawal karena rindu suasana di sana" jawab Dika dengan nada ramah. Oh? Keduanya jadi dekat sekarang? Zahra bahkan tidak tahu itu.

Perlahan namun pasti, sakit di sekujur tubuhnya terasa berkurang dan kepalanya tidak lagi terasa berat meskipun Zahra masih saja kesakitan. Zahra bisa merasakan kalau kelopak matanya bisa bergerak, tapi cahaya itu menyinari pupilnya dan membuat kepalanya sakit kembali. "I...bu" lirih Zahra setelah berusaha sekuat tenaga. Suaranya tak cukup keras tapi ia yakin bahwa dirinya bisa memanggil Ibunya.

"Ini Ibu nak. Ini Ibu" suara isak tangis miliknya semakin terdengar jelas, dan genggaman jemari di tangannya semakin mengeras "I...bu" setelah kesulitan menggerakkan tubuhnya, akhirnya ia bisa membuka mata dan mendapati wanita cantik yang sudah tampak renta itu beralirkan air mata.

Kelopak matanya berlipat seperti ia sudah menangis selama beberapa saat. Tapi kini ia tersenyum haru dan bahagia pada Zahra yang baru sadar bahwa dirinya sedang terbaring lemah di Rumah sakit.

"Dika panggilkan dokter ya?" ujar gadis tomboy itu seolah minta persetujuan namun tak menunggu jawaban dan pergi begitu saja.

Sepeninggal Dika, Zahra melirik ke seisi ruangan. Ia ditancapi jarum infus, ada selang yang tercantol di hidungnya, telunjuknya di jepit oleh alat yang terhubung secara langsung pada EKG --Elektrokardiograf. Apa ia sakit separah itu?

Pantas saja ia bisa mendengar bunyi mendengung yang mengganggu semenjak kesadarannya beberapa saat lalu.

Apa yang terjadi terhadapnya?




*--BIG SIN III 2023 By Riska Pramita Tobing--*



              Sudah sekitar satu minggu Zahra terbaring di kasur rumah sakit yang sama. Sekarang, infus serta EKG sudah hilang dari ruangannya, tapi ia belum diperbolehkan pulang hingga hari esok.

Baik Ibunya, Dika dan bahkan Dokter serta Suster yang melayaninya tak memberi tahu sedikitpun tentang apa yang terjadi pada dirinya. Zahra sudah ingin tahu kenapa tubuhnya menjadi tiba-tiba se renta ini tapi mereka justru tak memberi tahu terhadapnya.

Gadis itu hanya di beri tahu bahwa dirinya mesti berhenti menunda-nunda makan dan memakan makanan pedas, serta asam. Dugaannya, pasti terjadi sesuatu yang buruk dengan lambungnya.

Apakah ia akan mati dalam jangka waktu yang dekat?

Zahra menggeleng keras menolak pemikiran negatif yang baru saja hinggap di atas kepalanya. Ia sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Mana mungkin ia mati kan?

Semoga saja tidak.

Nurunnisa Azzahra atau yang sering dipanggil Ibu Nur oleh kebanyakan orang masih ada di sampingnya. Menemani tiap hari yang terasa bosan dan sama di setiap detiknya. Berbeda dengan Dika yang pergi kuliah untuk membereskan administrasi pembayaran mereka berdua.

Zahra jadi tak enak hati. Awalnya, ia ingin membicarakan keuangan Zahra yang selama ini ditanggung oleh Dika. Tapi ia tahu Ibunya sudah berusaha cukup keras untuk membekali dirinya di kota orang.

Seorang wanita yang hanya bekerja sebagai guru sekolah dasar itu hanya mampu memberikan dirinya uang jajan yang pas-pasan di setiap bulannya. Zahra tak berani membahas keuangan kuliah. Zahra tahu Ibunya bahkan kesulitan dan mencari pekerjaan lain selain menjadi guru untuk menghidupi dirinya di pondok.

Ia tak ingin membebaninya lagi.

"Bu?" ujar Zahra pelan. Membuat Ibunya menoleh dari acara televisi yang menampilkan berita siang hari.

Zahra menggigit bibir bawahnya sebentar "Apa aku boleh ikut pulang?" ragu, Zahra membisikkan niatnya terhadap Nurunnisa yang langsung mengerutkan kening karenanya.

Wanita renta yang masih saja tampak menawan itu mengusap pucuk kepalanya yang tak dibalut hijab "Kenapa tiba-tiba ingin pulang toh nakk? Tekad kamu saat kamu pergi ke pondok kan untuk membanggakan Ibu. Kamu bilang kalau kamu mau jadi sarjana supaya bisa menjadi guru seperti Ibu. Kenapa tiba-tiba berhenti toh?" dengan nada yang pelan dan lembut, Ibunya menegur.

Zahra hampir saja menjatuhkan air mata saat ia mendengar teguran itu dari Ibunya. Bisa-bisanya dia lebih mementingkan mimpi Zahra dibanding kehidupannya. Zahra terharu sekaligus ingin marah terhadap dirinya dan keadaan. "Aku.. nggak mau ngerepotin Ibu dan Dika"

Disaat yang bersamaan, perempuan yang baru saja ia sebutkan namanya muncul dengan membawa tentengan plastik berisikan buah anggur. Ia tersenyum lebar meskipun rambut panjangnya tampak kusut dan berantakan "Hallo. Sorry agak telat pulangnya. Dika habis beli buah" dengan ceria, gadis tomboy itu menyerahkan bingkisannya pada Ibunda Zahra.

"Terimakasih loh nak Dika. Jadi ngerepotin" jawab wanita itu sebelum akhirnya beranjak untuk mencuci buahnya di belakang.

Zahra termenung sedikit. Sudah berapa banyak uang yang dikeluarkan Dika untuk dirinya? Ia tak ingin lagi merepotkan Dika.

"Kenapa cemberut gitu?" sebuah tepukan lembut di atas kepalanya membuat Zahra tersadar dari alam lamunan "Kangen aku ya?" lanjut si tomboy dengan nada jenaka.

Zahra menorehkan sedikit senyum. "Geer banget kamu. Aku cuma bosan di rumah sakit terus. Aku mau pulang" ujarnya tak sepenuhnya berbohong.

"Besok kan bisa pulang"

Gadis cantik berpipi tembam itu menggeleng "Bukan ke rumah kamu, tapi ke rumahku"

"Hm?"

*-----*
Riska Pramita Tobing.

BIG SIN III Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang