Multimedia: Khumaira Azzahra.
*-----*
Dalam perjalanan menuju pulang, semuanya terasa sepi dan menakutkan. Hujan turun beberapa saat setelah Dika dan Zahra memasuki bus yang akan mengantar mereka kembali ke kota, temaramnya langit seolah mendeskripsikan perasaan yang ada di dalam benak Dika sekarang. Harapannya untuk mendapatkan restu dari kedua orangtua Zahra pupus seketika setelah ia mendapatkan dua tamparan dari Ghani beberapa saat yang lalu.
Saat ia kembali ke rumah Ibu Nur dan wanita senja itu melihat bahwa putri yang terikat oleh air susu dengannya itu babak belur, ia menyerahkan senyum kecil seolah sudah menduga bahwa ini akan terjadi dan hal itu rupanya menyakiti hati Dika. Semuanya tak semudah yang ada dipikiran Dika sebelum ia berangkat ke kediaman Zahra untuk meminta restu agar bisa meminang gadisnya.
Di sampingnya, Zahra terisak sesekali saat melihat pipi milik si gadis tomboy bengkak dan membiru ditambah lagi kalau saja ia mengingat dengan kata-kata kasar serta pengusiran dari Ayahnya sendiri. Ini pertama kalinya Zahra diberi nada tinggi oleh lelaki yang mencintainya sepenuh hati. Meskipun Zahra tak melihat adegan dimana Dika disiksa habis-habisan olehnya, tapi Zahra yakin kalau itu akan menimbulkan trauma tersendiri pada Dika.
Zahra bisa merlihat gadis itu kehilangan kepercayadirian sekarang. Sedari tadi, gadis tomboy disampingnya hanya menatap pada luar jendela yang dipenuhi dengan kabut yang mengembun di kaca. Zahra tahu ini pasti sulit untuknya dan juga untuk mereka berdua, tapi ia sudah terlanjur memutuskan untuk memilih jalan ini dengannya. Pahit manis yang akan ia lewati bersama Dika harus dirasakan keduanya dan sekarang mereka tengah merasakan kepahitan yang luar biasa.
Zahra bersandar pada pundak milik Dika yang tampak lemah, gadis cantik itu sesekali mengecup bahunya yang tak lagi kokoh seperti semula. Gadisnya benar-benar kehilangan kepercayadirian sekarang "Baik-baik saja?" bisik Zahra seraya mengusap lengan Dika yang dibungkus jaket. Dika mendekat dan memeluk kekasihnya dengan erat lantas sesekali menyesap aroma rambut si cantik yang dibalut rapi mengenakan hijab "Aku akan segera membaik" ujarnya meyakinkan meskipun sorotnya tampak begitu lemah.
Zahra tahu bahwa ucapan itu hanyalah kebohongan belaka, gadis cantik berpipi tembam itu bisa melihat sorot ketakutan pada iris mata milik si tomboy yang biasanya tampak tangguh dan kuat. Zahra tahu kalau Dika tidak ingin membuatnya khawatir sehingga ia memutuskan untuk berbohong dan mengatakan bahwa ia akan segera baik-baik saja. Dengan perasaan haru, Zahra merengkuh sesuatu dari dalam tasnya lantas mengeluarkan selembar foto dimana ada dua anak kecil sedang berdiri berdekatan.
Dengan mengenakan pakaian yang sama, keduanya tampak berbeda. Satu diantaranya bertubuh gembul dan dipenuhi dengan bubuk-bubuk kue serta cokelat di wajah manisnya sementara yang satunya lagi tampak begitu kotor dan penuh dengan tanah. Tinggi mereka hampir serupa dan senyum mereka tercetak sama di wajah keduanya "Kita ditakdirkan untuk bersama, Mauria. Percayalah. Bahkan meskipun kita terpisah selama lima belas tahun, pada akhirnya kita saling menemukan satu sama lain"
Dengan senyum haru, Dika mengambil selembar foto yang sudah tampak usang itu dan menggenggamnya lembut. Ada air mata yang mengalir begitu saja dari kedua irisnya saat ia melihat dirinya dan Zahra dalam bentuk kecil.
"Emang dasar suka ngemil dari kecil, sampe sekarang pun tetep aja kayak gitu" komentar si tomboy pada kekasihnya. "Lihat? Kamu bahkan memegang kue dan satu snack di setiap tangan. Rakus" lanjutnya masih mengomentari foto mereka berdua, ia mulai terkekeh sekarang "Ayo tetap bersama seperti ini selamanya, Khumaira" bisik Dika seraya melirik perlahan pada gadis cantik disampingnya.
Zahra terenyuh. Kalau ini bukan cinta, maka apa lagi? Sebegitu kerasnya tekad Dika untuk memiliki dirinya, memperjuangkan kebersamaan keduanya, menerima segala kekurangannya, bersama dengannya dalam keadaan apapun, menanggung semua resiko yang terjadi di antara keduanya, membahagiakannya, membuat dirinya merasa spesial, dan segala hal yang telah Dika lakukan terhadapnya. Jika ini tidak disebut sebagai cinta, maka apa lagi?
*--BIG SIN III 2023 By Riska Pramita Tobing--*
Zahra terkekeh saat ia melihat gadis tomboynya tersungkur di atas sofa, ia tampak lelah tertawa saat Zahra menceritakan beberapa kisah masa kecil mereka yang diceritakan Ibunya pada dirinya "Udah ya" peringat Zahra saat ia merasakan pipinya memerah karena malu "Masa kamu pernah hampir tersungkur ke dalam ember ketika mandi? Ahahahaha" meskipun Zahra memang menyukai tawa renyah yang keluar dari bibir si tomboy yang masih bengkak, nyatanya ditertawai seperti ini mampu membuat perasaannya malu.
Zahra sadar bahwa dirinyalah yang menceritakan sepotong cerita masa lalu dari kehidupan semasa kecilnya, bahkan ia sesekali menceritakan kisah masa kecil Dika yang menggelikan. Contohnya saja fakta dimana gadis itu tak bisa meloncat di antara kedua kakinya dan hanya bisa mengangkat satu lutut tinggi-tinggi ketika Zahra memberikan contoh padanya untuk meloncat dengan dua kaki. Itu menggelikan. Zahra bahkan bisa membayangkan Dika kecil melakukannya saat ia bercerita. Itu pasti sangat menggemaskan.
"Kamu tahu? Kamu tidak pernah berubah sejak kecil. Mata, hidung, bahkan pipi kamu juga sama menggemaskannya dengan yang ada di foto" Zahra hanya menanggapi itu dengan senyuman seraya membuka kulkas untuk mengambil air dingin sebelum akhirnya menumpahkannya pada mangkuk berukuran sedang dan mengambil lap kecil untuk mengompres luka di kedua pipi milik kekasihnya "Kalau kita sudah menikah nanti, kamu mau kan untuk punya anak?"
"Eh?"
Dika melirik pada gadisnya yang masih terdiam di dekat kabinet dapur, gadis cantik itu memegang satu buah wadah berukuran sedang dengan kain bersih menyantol di sana. Ia menyerahkan senyum dan mendekat sebelum akhirnya duduk di samping Dika lantas mengompres pipinya dengan lembut "Khumaira?" panggil Dika lembut seolah ia menyadarkan kekasihnya dari kegiatannya sekarang.
"Hmm?" balas Zahra menggumam tanpa menghilangkan fokus pada luka di pipi milik Dika yang tengah ia kompres "Apa kamu tidak ingin keturunan?" Dika bisa melihat Zahra melirik padanya dengan lembut, ia tersenyum sedikit "Memiliki seseorang yang terkait darahnya padaku adalah sebuah mimpi yang besar, Mauria" balas si cantik sedikit rancu.
Dika meringis sebentar "Apa kamu mau punya anak? Kita bisa melakukan bayi tabung kalau saja kamu mau. Tak perlu kamu yang melahirkan, aku juga siap kalau saja kamu takut" saran itu langsung dihadiahi gelengan oleh Zahra "Bukan begitu" bantah Zahra selagi menatap lurus padanya "Aku selalu ingin memiliki anak, tapi menjadi orangtua adalah suatu hal yang membutuhkan tanggung jawab yang besar"
Dika tersenyum kecil "Bisa kamu bayangkan? Aku atau kamu akan menyusui dan memiliki kita dalam bentuk mini. Kurasa itu akan menggemaskan" Zahra ikut terkekeh bersama si tomboy sebelum akhirnya ia menaruh kompresan air dingin itu di atas meja "Nanti yaa. Tunggu kita lulus. Aku akan menjawabnya kala kita berdua sudah wisuda. Aku butuh waktu yang panjang untuk memutuskan menjadi orangtua"
Dika mengangguk "Tak usah terburu-buru" ujarnya meniru Zahra "Aku tahu ini keputusan yang berat. Tapi kamu harus main game denganku malam ini" senyum manis dari Dika seketika berubah menjadi cengiran cabul yang membuat Zahra jadi mengerutkan kening dan menyipitkan mata "Game apa yang akan kita mainkan?"
Dika terkekeh "Truth or dare"
*-----*
Riska Pramita Tobing.
Author Note: Ahhh. Classic truth or dare... hmmm
![](https://img.wattpad.com/cover/314119849-288-k757403.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Teen Fiction"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.