Multimedia: Khumaira Azzahra
*-----*
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Zahra masih terjebak di dalam kelas yang bahkan tak digunakan apapun selain perkenalan diri dan penyambutan-penyambutan tak berguna untuk dirinya.
Zahra tak berniat memperbanyak ruang lingkup pertemanannya. Ia hanya ingin bersama dengan Dika dan sialnya sekarang gadis tomboy itu tidak ada disisinya.
Sambil mengetuk jemari lentiknya di atas meja kecil di depannya, Zahra mencebik kecil. "Kapan sih acaranya berakhir?" gumam si gadis berpipi tembam dengan nada lelah.
Banyak kakak tingkat yang sedari tadi mencoba untuk mendekati dirinya dan Zahra tidak bisa mendorong mereka menjauh seperti Dika. Banyak pula yang mengajak Zahra untuk mengikuti organisasi yang bahkan tidak diminati oleh gadis itu. Ia ingin segera pulang.
Kelas bisnis managemen ini ternyata diminati cukup banyak orang. Buktinya saja, ia terjebak di antara empat puluh orang mahasiswa baru yang satu kelas dengannya.
Sedari tadi Zahra mencoba menghindar dari sebagian banyak orang yang mencoba untuk mendekatinya sampai akhirnya ia menemukan Clarissa baru saja masuk ke kelas yang sama dengannya.
Gadis cantik berambut ikal itu melambai pada Zahra seolah mereka kenal sangat dekat sehingga ia berani mendekat lantas duduk di samping Zahra tanpa seizinnya "Kamu terlihat tidak nyaman di antara banyaknya orang" seru si cantik sambil menyodorkan air minum.
Tanpa bisa dipungkiri, Zahra tersenyum "Terimakasih" meskipun sebenarnya ia merasa canggung terhadap Clarissa, tetap saja gadis cantik itu adalah penyelamatnya dari beberapa orang yang sedari tadi mencoba untuk mendekatinya.
Syukurlah, akhirnya mereka berhenti menggodaku. Ujar Zahra di dalam kepalanya.
"Ternyata kita di kelas yang sama" ujar Clarissa saat Zahra masih saja meminum air mineralnya bahkan sampai setengah botol. "Sepertinya kamu stres berat di lingkungan baru" lanjut si cantik tanpa membutuhkan jawaban dari Zahra karena gadis cantik berpipi tembam itu menjawabnya dengan menghabiskan air mineral itu.
Zahra mengangguk, "Aku memang punya sosial anxiety"
Mendengar itu, Clarissa terkekeh "Kalau punya sosial anxiety, kenapa kamu ikut kelas managemen? Kenapa nggak ikut kelas yang lebih santai seperti bahasa aja?"
Masuk akal. Celetuk Zahra di dalam kepalanya "Hanya ingin membuka bisnis kala aku sudah lulus nanti. Setidaknya aku bisa membantu orangtuaku kalau saja aku memang bisa"
"Ahhh. Baiklah. Masuk akal" jawab Clarissa singkat "Tak apa, nggak perlu stres. Nanti juga terbiasa"
Zahra mengangguki saja ujaran wanita cantik berambut ikal yang duduk di sampingnya itu. Sebenarnya, Zahra kurang suka keramaian ketika tidak ada Dika di sisinya.
Zahra adalah gadis lemah yang mungkin saja bisa digoda banyak orang dan dimanfaatkan kebanyakan orang. Apalagi dunia perkuliahan ini sudah sangat berbeda dengan dunia sekolah.
Secara umum, semuanya terasa sama. Memakai seragam, masuk kelas, menulis, ulangan, praktek, organisasi dan sebagainya. Tapi pergaulan di dunia kuliah sangat amat berbeda dari dunia yang selama ini Zahra ketahui.
Gadis cantik berpipi tembam itu sudah tidak di lingkungan pesantren, ini lingkungan kota besar yang memiliki berbagai macam manusia dan Zahra terlalu naif untuk sadar akan itu semua.
Zahra tidak dibesarkan di kota besar seperti Dika. Ia tinggal di sisi gunung yang masih dihuni oleh masyarakat baik dan berbudi. Gadis itu juga dibesarkan di pondok pesantren sehingga membuat ia menganut agamanya dengan kental.
Berbeda sekali dengan Dika yang sudah mengerti tentang seluk beluk kelakuan manusia kota yang memang terkadang baik di depan dan busuk di belakang.
Huftt... kenapa sih Dika tidak hadir di hari pertama mereka kuliah?
*--BIG SIN III 2023 By Riska Pramita Tobing--*
Dika terkekeh lembut saat ia melihat gadisnya tampak kusut setelah seharian dijemur di bawah sinar matahari dan juga dikerumuni banyak orang. Meskipun si tomboy terkekeh, ia tetap saja menyodorkan satu minuman kaleng rasa lemon untuk mengembalikan semangat milik Zahra yang sepertinya sudah hilang entah kemana.
"Capek banget kah?" ujar Dika lembut sambil mengusap keringat di kening Zahra dengan tisu.
Si cantik berpipi tembam itu mengangguk setelah lebih dulu berhenti meneguk minumannya "Sampai jam sebelas aku di jemur" lenguhnya kemudian.
"Uuuhhh kasiann" Dika mengulurkan tangan untuk memberikan pelukan hangat pada kekasihnya.
Saat bersender di bahu Dika yang cukup lebar jika dibandingkan dengan kebanyakan gadis lain, Zahra mencium aroma asap dari leher si tomboy yang tak ditutupi hijab "Habis dari mana aja kamu? Kok bau asep?"
Tangan Dika bergerak mengusap pucuk kepala si cantik dengan lembut agar tak merusak hijabnya yang rapi "Habis pulang ke rumah, minta bantuan dana dari Ayah untuk restoran. Setelah itu aku pergi ke toko bahan dasar bangunan. Memilih beberapa benda yang sekiranya diperlukan. Di sana ada pembakaran serbuk gergaji yang akan dijual untuk arang. Makanya bau begini"
Zahra terkekeh "Gapapa-gapapa aku juga bau matahari kok" lanjutnya masih disertai kekehan.
"Iya?" tanya Dika menggoda sambil mengangkat kepala Zahra dari bahunya dan menangkup kedua pipi berisi milik gadis itu agar ia diam di hadapannya "Sini aku cium" godanya sebelum menghadiahi si cantik sebuah kecupan kecil di bibirnya yang tampak kering.
Dika menggidig "Iiiihhhhh" ujarnya seolah jijik "Manis banget bibir kamu" lanjut Dika dengan nada menggoda yang tepat.
"Ishhhhh" dengan kesal, Zahra mencubit lengan Dika yang telah berhasil menggodanya.
Dika hanya tertawa saja kepada tingkah perempuan cantik di sampingnya ini "Mau makan kemana?" ujar Dika sesaat sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil.
"Aku lagi pengen yang berkuah dan pedas. Kupikir mie ayam enak"
Dika melirik sebal "Makan sayang. Bukan jajan" tegur Dika lembut pada kekasihnya yang langsung cemberut "Yaaah. Nggak bisa mie ayam?" meskipun Zahra memakai senjata puppy eyes andalannya, tapi Dika tetap teguh "Nggak bisa. Makan dulu yaa. Kamu kan sudah lelah seharian kuliah"
Zahra melenguh kecil "Yasudah. Aku mau ayam geprek aja"
"Okay" dan dengan itu mobil milik Dika berpacu membelah jalanan yang cukup ramai di sore hari yang tampak cerah ini.
Zahra melamun melihat ke luar jendela disaat Dika mengusapi pahanya dengan tangan kiri yang sesekali mengoper persneling. Nuansa kota yang sangat-amat berbeda dengan nuansa pondok pesantren yang sudah enam tahun ia tempati.
Biasanya, jam segini Zahra melihat santiawan-santriwati sedang berkeliaran menuju masjid untuk persiapan mengaji setelah adzan maghrib, tapi di sini ia hanya bisa melihat lalu-lalang kendaraan yang berseliweran di antara pejalan kaki yang tampak sibuk dengan ponsel di tangan mereka.
Kadang kala, Zahra rindu dengan suasana pondok yang hangat oleh banyaknya percakapan dan candaan para santri. Ia menrindukan suasana dimana dirinya berlari dari kobong ke kobong lain hanya untuk mengajak temannya berangkat ke masjid bersama.
Ia rindu dengan apa yang sudah Zahra anggap rumahnya. Dan ini sangat amat berbanding terbalik dengan rumah yang selama ini ia tinggali. Ia ingin pulang.
*-----*
Riska Pramita Tobing.
![](https://img.wattpad.com/cover/314119849-288-k757403.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Teen Fiction"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.