Multimedia: Mauria Mahardika Sadewa
*-----*
Zahra termenung sendirian di kamar milik Dika yang sudah jadi tempat kesukaannya semenjak beberapa bulan yang lalu. Tak disangka, Zahra pergi dari pondok pesantren yang selama ini di singgahinya. Tak disangka, ia dibuntuti oleh Dika sampai ke universitas. Tak disangka, Ibunda Zahra membiarkan anak sematawayangnya untuk tinggal bersama Dika.
Zahra rindu suasana rumah, ia juga rindu suasana kobong. Ia ingin pulang dan mencium aroma tanah basah yang sedang dibajak oleh kerbau. Ia juga rindu anak-anak kecil yang perang sarung atau berlari kesana-kemari tanpa alasan dan tujuan.
Hufffftttt. Zahra melepaskan napas panjang yang berat. "Sepertinya ada yang salah dengan gadis di atas kasur"
Sambil sedikit tersenyum, Zahra melirik ke arah suara untuk menemukan Dika yang tampak menawan dalam balutan pakaian muslimah. Tumben sekali, pikir Zahra "Habis dari mana?"
Dika menggedigkan bahu "Memberikan pakaian tak terpakai ke pondok terdekat" jawabnya.
Pantas saja ia mau memakai pakaian muslimah seperti itu. Pikir Zahra kemudian.
Setelah keluar dari pondok, Dika kembali merombak penampilannya. Ia tak jarang melepas kerudung dan membiarkan rambut panjang se punggungnya menggantung begitu saja. Tapi terkadang, gadis tomboy itu juga mengenakan hijab simpel ketika sedang berada di acara formal atau hanya sekedar ingin saja.
Zahra tidak pernah bermasalah dengan apa yang Dika kenakan, ia menyukai Dika semenjak pandangan mereka pertama kali bertemu. Meskipun awalnya Zahra sempat menilai kalau gadis tomboy yang kini menjadi kekasihnya itu urakan, ia tetap menyukai paras cantik nan tegas miliknya.
"Kenapa sihh? Kok melamun terus?"
Zahra tersentak dari alam bawah sadarnya "Ah gapapa. Cuma rindu rumah" ujar gadis cantik itu seraya mengusap paha milik si tomboy dengan lembut.
Dengan senyum mengerti, Dika mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala milik kekasihnya "Nanti libur semester kita pulang. Kalau pulang sekarang kan nanti kuliahnya terganggu. Kita baru saja masuk, pembelajaran awal adalah hal yang biasanya penting untuk di ketahui"
Meskipun Zahra mengangguki ujaran Dika yang memang benar adanya, gadis itu tetap cemberut dan beranjak menuju lekukan leher Dika untuk memeluknya erat "Pengen pulang" lanjut Zahra masih saja disertai dengan ujaran berbau manja yang hanya bisa dibalas Dika dengan senyuman kecil.
Dika tahu bahwa jauh dari kota asal adalah sebuah kesulitan. Saat awal Dika mendirikan bisnis kecil-kecilan selama ia di sekolah, ia juga sering merasakan rindu kampung halaman. Meskipun biasanya Dika tinggal di luar kota selama beberapa minggu disaat libur sekolah untuk mempelajari bisnis Ayahnya, ia akan murung di pertengahan minggu karena rindu rumahnya sendiri.
Pastilah sulit bagi Zahra saat ia keluar dari zona nyaman. Meskipun gadis itu sudah terjauh dari Ibunya saat di pondok pesantren, tapi ia memiliki zona sendiri di pondok. Lagipun, suasana pondok tak terlalu berbeda jauh dengan kampung halaman Zahra. Jadilah gadis itu tidak akan terlalu rindu pada kampung halamannya.
Sekarang mereka di kota besar dengan situasi yang sangat-amat berbeda. Dimana udara tak lagi terasa sejuk, air terasa keruh, cuaca yang terasa gersang dan panas, kendaraan yang ramai, orang-orang yang tak lagi ramah, bahkan sampai kegiatan yang tak lagi sama membuat Dika paham kalau Zahra masih kaku dengan situasi baru ini.
Dika paham kalau Zahra merindukan kehidupan lamanya yang tak akan lagi sama. Ia juga rindu itu semua. Tapi yang bisa ia lakukan sekarang adalah menguatkan kekasihnya untuk tetap sabar dan teguh menjalani kehidupan barunya.
*--BIG SIN III 2023 By Riska Pramita Tobing--*
Dika melirik pada Zahra yang sudah terlelap di sampingnya. Ia tampak tenang namun sesekali bergerak seperti tidurnya tidak nyaman. Dika jadi kasihan padanya, ia pasti sangat merindukan kampung halamannya sampai-sampai terbawa mimpi.
Sambil mengambil laptop yang sedang ia perhatikan sedari tadi, Dika naik ke atas kasur dan mendekat ke arah kekasihnya "Gapapa, nanti kita pulang sayang" ujar Dika berbisik pelan sebelum mengecup kening si cantik dan mengusap rambutnya yang sudah tampak berantakan karena bantal.
Baru jam delapan malam. Zahra bahkan tidak makan malam sebelum pergi tidur. Suhunya terasa normal dan gadis itu tidak menggigil, jadi mungkin saja Zahra hanya kelelahan lantas ingin pergi tidur dengan segera.
Dika mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Masih ada pekerjaan yang harus ia lakukan. Restoran sudah mulai tampak rapi dan bagus kembali. Meskipun baru dipasangi beberapa furniture yang baru dan dirapihkan bagian-bagian yang rusak, Dika sudah bisa melihat kalau restorannya sudah bisa dipakai dua atau tiga hari kedepan.
Besok, Dika harus membeli cat dan kabinet baru. Berapa uang lagi yang harus ia keluarkan untuk bisnisnya ini? Untung saja Ayahnya memberikan gadis itu pinjaman uang terhadapnya. Tapi, dibalik semua kekacauan ini, Dika seringkali memikirkan orangtuanya.
Saat Dika terkena musibah dengan hampir kehilangan segala hal yang ia perjuangkan semenjak smp dulu kala di restorannya, Ayahnya bersedia menanggung kekurangan dana bisnisnya bahkan sampai memberikan gadis itu uang lebih untuk biaya kuliah dirinya dan Zahra. Padahal, jika saja di pikir-pikir, Ayah Dika tidak menyukai hubungannya dengan Zahra.
Dika mengurut keningnya perlahan. Kenapa Ayahnya tiba-tiba bersifat baik pada dirinya dan Zahra? Apa dia merencanakan sesuatu terhadap kehidupannya?
Sekali lagi, Dika menarik napas panjang dan menghempaskannya dengan cepat. Gadis tomboy itu tak bisa menghentikan pemikiran buruknya terhadap Dipta. Ia tahu Dipta pasti merencanakan sesuatu terhadap kehidupannya.
"Mmmmhhh..." Dika tersentak kaget saat ia merasakan guncangan di pahanya. Sebuah cengkraman kuat dari Zahra membuat gadis itu melirik pada kekasihnya yang masih terpejam dan terlelap di alam mimpi.
"Khumaira? Ada apa?" secara perlahan namun pasti, Dika melepas cengkraman menyakitkan dari tangan milik Zahra dan mengusap pipi milik kekasihnyan yang tampak merah. Suhu tubuh gadis cantik berpipi tembam itu naik drastis.
"Sakitt" rengek Zahra.
Dika meringis saat melihat Zahra tiba-tiba saja menggigil sementara suhu tubuhnya semakin menaik "Kita ke rumah sakit ya sayang?" lengan panjang milik Dika yang kokoh merengkuh pundak Zahra dan membangunkannya perlahan dari atas kasur.
Zahra tampak lemas tak terkira sehingga Dika memutuskan untuk memangkunya meskipun ia sedikit terhuyung karena berat badan Zahra yang tampaknya bertambah.
Dengan kaki yang gemetar, Dika menuruni tangga dengan Zahra di dalam dekapannya. Semakin ia dekat dengan pintu menuju garasi, kakinya semakin lemas dan bergetar. Dika hampir saja menjatuhkan Zahra saat ia kesulitan membuka pintu kendaraan namun gadis tomboy itu mampu bertahan dan memasukkan Zahra ke dalam mobil tanpa melukainya.
Ia harus cepat-cepat ke rumah sakit.
*-----*
Riska Pramita Tobing.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Teen Fiction"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.