BIG SIN III - TwentyFive

295 21 8
                                    

Multimedia: Mauria Mahardika Sadewa.

*-----*

          Rumah dinas Ayahanda Khumaira terletak tidak jauh dari rumah utama. Hanya tinggal menaiki bukit yang menanjak dan kemudian berhenti di satu sekolah SMP cukup besar dengan beberapa rumah dinas di sisinya. Dika menarik napas saat ia melihat bangunan yang tampak terawat itu dihiasi dengan berbagai kandang burung sementara Zahra hanya menatap terhadapnya "Kamu tidak perlu terburu-buru, Mauria"

Sekali lagi, kata itu diucapkan oleh kekasihnya. Tapi Dika sudah tak sabar ingin mendapatkan restu setelah mereka diberi lampu kuning oleh Ibunda Zahra. Meskipun memang Ibu Nur masih gamang dalam memberikan Izin terhadap keduanya, tapi Dika bisa berbahagia karena Ibu Zahra ternyata bisa mengerti dengan ini semua, tak seperti Ayahnya sendiri yang langsung saja mencabut dirinya dari ranting keluarga.

Seraya menarik napas yang panjang, Dika bergerak perlahan menyusuri titik-titik dari pekarangan rumah yang tampak sangat terawat. Gadis cantik disampingnya sesekali menggumam sementara Dika menggertakkan geraham saat mereka semakin dekat dengan pintu. "Loh? Anak Ayah tumben kesini?" sapaan yang terdengar dari samping rumah membuat Dika melirik secara spontan dan terkesan begitu cepat pada suara yang terdengar tegas terhadap gadis cantik yang sedari tadi mengaitkan jemari pada milik Dika.

Dika menelan ludah kaku saat ia melihat sosok berbadan besar dengan wajah bengis dihiasi kumis yang tampak rapi. Rambutnya tampak tak begitu panjang disisir ke belakang sampai membentuk surai yang cantik "Ayah?" sapa Zahra dengan nada berbinar seolah mereka tak bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal rumah mereka hanya terpisah dengan bukit kecil.

Lelaki senja itu tersenyum saat putri sambungnya mencium tangan "Siapa itu? Teman kuliah?" ujar si lelaki yang langsung saja membuat Dika tersadar atas rasa takutnya "Iya Om, saya Dika" ujarnya kaku.

Tercetak senyum datar di bibir lelaki senja itu "Kau tampak seperti perempuan binal"

Deg~

Perempuan binal... desis Dika di dalam kepala, kepercayadiriannya menghilang seketika setelah ia mendegar Ayah Zahra menilainya begitu "Ayaah, dia teman Zahra" seruan bernada manja dari gadis cantik berpipi tembam yang kini tengah bergelayutan di lengan Ayahnya itu menyadarkan Dika dari lamunan menyedihkan miliknya.

Dika tersenyum kecil "Selamat pagi, Om" ujar Dika seraya membungkuk untuk menghormati lelaki senja tersebut.

"Kapan sampai?"

"Kemarin Om"

Kaku..

"Kalian tinggal di satu rumah, kan?"

"Iya Om"

Introgasi..

"Sudah berapa lama?"

"Empat tahun semenjak di pondok"

Lelaki itu mengerutkan kening "Kenapa kau tampak binal meski sudah masuk pondok?"

Jleb~

"Ayah" nada peringatan keluar dari Zahra sehingga membuat lelaki itu memberi tatapan yang tak setajam tadi "Masuklah" ujar si lelaki seraya berjalan bersampingan dengan Zahra sementara Dika sudah hancur karena kata-kata kasar itu darinya.

Perempuan binal.

Baru pertama kali ini ia dipanggil serperti itu oleh seseorang. Dika sudah terbiasa dengan panggilan bengal dan urakan karena ia memang seperti itu. Tapi binal? Itu sangat jauh dari semua kata yang pernah di dengar olehnya.

Dika melirik pakaiannya sendiri dari bawah hingga atas. Padahal hari ini ia mengenakan pakaian yang cukup formal dan rapi meskipun ia tak berhijab. Apakah dia memang terlihat seperti seorang pelacur hingga Ayah Zahra menyebutnya begitu?

BIG SIN III Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang