Multimedia: Khumaira Azzahra dan Mauria Mahardika Sadewa.
*-----*
Suara langkah kaki yang cepat itu sedari tadi mengganggu Zahra yang tengah fokus membaca di perpustakaan. Gadis itu sedang mencari bahan untuk menulis esai yang diberikan dosennya beberapa saat yang lalu. Dika tak ada dengannya sekarang, gadis itu tengah kerja kelompok dan Zahra sudah mulai terbiasa untuk berpisah dengan gadis itu. Lingkungan kuliah nyatanya sangat menyenangkan. Butuh sedikit banyak waktu untuk beradaptasi bagi Zahra, tapi berkat Clarissa yang extrovert itu, Zahra mampu dengan cepat menyesuaikannya.
Satu botol air mineral tiba-tiba saja disodorkan seseorang padanya dan itu langsung membuat Zahra melirik pada tangan cantik yang menyerahkan itu pada dirinya "Caca?" ujar Zahra terkejut karena ia baru saja memikirkannya. "Makasih" ujar si cantik seraya menerima uluran air mineral tersebut dan meminumnya dengan suka cita.
Dengan disertai senyum manis, Clarissa ikut duduk di samping Zahra dan membuka buku miliknya "Lagi cari bahan untuk tugas juga?" ujar Clarissa saat ia sudah melihat Zahra menenggak setengah dari isi air mineral yang ia berikan. Si cantik berpipi chubby mengangguk "Iya" jawabnya singkat kemudian.
Dengan rambut yang menggantung cantik, Clarissa melirik ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu "Dika dimana? Tumben banget sendirian. Biasanya nempel terus kayak surat sama perangko" Zahra sedikit terkekeh saat mendengar perumpamaan itu "Kerkom juga. Tapi kita beda kelompok. Makanya aku sendiri" jawab Zahra seadanya lantas mulai menulis.
Jemari lentik milik Zahra memegang bolpoin dan bergerak dengan cepat di atas kertas kosong sementara matanya fokus secara bergantian pada buku paket serta buku tulis "Kudengar kemarin kalian sempat dipanggil Kak Fahri" Zahra mengangguk acuh pada pertanyaan itu "Karena Dika berkelahi"
"Dengan preman kampus" celetuk Clarissa membuat Zahra mengangkat pandangan "Preman kampus?" ulang si cantik seolah pendengarannya tidak berfungsi dengan baik "Iya" kini, giliran Clarissa yang menjatuhkan pandangan pada buku tulis di hadapannya.
"Siapa yang preman kampus?"
"Kak Aldo"
"Aldo?"
"Iya. Laki-laki gondrong yang dihajar Dika"
Masih dengan kening mengkerut, Zahra berpikir "Jadi, namanya Aldo?"
Clarissa melirik cepat seolah tidak percaya dengan nada tenang yang dikeluarkan Zahra terhadap dirinya "Kamu itu sadar nggak sih kalau Dika sudah menghajar ketua preman kampus?!" ujar si cantik berambut keriting dengan nada gemas tak terkira.
Zahra mengangguk acuh "Iya. Memangnya kenapa?"
Pertanyaan bernada polos itu dibalas desahan frustasi oleh Clarissa "Kamu nggak khawatir anak buah Kak Aldo bakal berbuat sesuatu yang mungkin membahayakan hidup Dika?" gadis berambut keriting itu sedikit menggeram karena kesal lantas menggenggam lengan Zahra kuat untuk menyadarkannya "Kak Aldo itu punya anak buah banyak banget di kampus dan dia kemarin dihabisi oleh Dika. Apa kamu nggak pernah berpikir kalau anak buahnya nggak terima dengan kejadian itu dan mengepung Dika untuk menyiksanya?! Hmm?!!"
"Kalian sedang apa?"
Deg~
Suara serak dari gadis tomboy yang baru saja dibicarakan tiba-tiba muncul di antara keduanya. Tangan Zahra masih berada di genggaman Clarissa dan Dika segera mendekat pada kekasihnya "Jangan mesra-mesraan di perpustakaan" sindir si tomboy yang langsung membuat Zahra menarik lengannya.
"Cari buku juga?" Zahra mendekat pada kekasihnya dan mengusap lengan milik si tomboy secara perlahan seolah menandakan bahwa tidak ada yang terjadi di antara dirinya dan Clarissa, tapi pandangan Dika tetap tampak keras dan marah pada keduanya "Cari kamu. Aku rindu" Zahra hampir saja memukul puncak kepala si tomboy saat ia melihat Clarissa terkekeh karena ucapannya.
"Sudah jam lima. Waktunya pulang. Aku ingin menikmatimu semalaman"
"Mauriaaa" desis Zahra dengan suara tertahan seraya mencubit perut rata milik kekasihnya yang sudah tak sekeras dulu "Aku pulang dulu ya, Ca. Sampai jumpa besok" dan dengan itu, Zahra menarik paksa si gadis tomboy yang membuat pipinya memerah karena malu. Bisa-bisanya gadis tomboy itu mengatakan hal seperti itu pada Clarissa. Dasar gadis gila.
*--BIG SIN III 2023 By Riska Pramita Tobing--*
Di dalam perjalanan menuju pulang yang pastinya terhiasi dengan kemacetan serta banyaknya lampu merah, Dika tampak murung. Meskipun mata tegas miliknya tak henti fokus terhadap jalanan, atau tangannya yang mengusap lembut paha bagian dalam milik Zahra yang terhalangi oleh kain gamis, gadis cantik berpipi tembam itu hafal betul kalau kekasihnya sedang merajuk terhadap dirinya.
Dengan pemikiran itu, Zahra inisiatif untuk menarik diri dan memberikan kecupan singkat di rahang milik Dika yang anehnya tidak mengeras seperti biasanya. Pemandangan itu langsung membuat Zahra terkejut. Tak biasanya gadis tomboy itu tidak mengencangkan geraham katika ia mengecup rahangnya. Padahal itu bagian paling sensitif Dika dari seluruh wajahna. "Danna" bisik Zahra yang membuat Dika melirik secara cepat "Apa kamu bilang?" ujarnya secara cepat-cepat berhenti tepat di depan alfamart.
Zahra tersenyum sedikit "Danna" ulang Zahra memperjelas bisikan yang sempat terlepas dari bibirnya tadi. Panggilan itu membuat Dika mengangkat senyum sedikit "Darimana kamu belajar bahasa jepang?" pertanyaan itu membuat Zahra membelalakkan matanya seketika. Pipinya memerah secepat kilat saat ia melihat Dika membuka sabuk pengaman dan mendekat padanya "Ulangi. Aku ingin mendengarnya lebih jelas"
"Danna"
"Aku menyukainya Tsuma"
Zahra bisa merasakan gemuruh di dalam dadanya saat Dika memanggilnya 'Tsuma' yang artinya adalah istriku sementara gadis cantik berpipi tirus itu menyerahkan senyum congkak yang sombong setelah Zahra memanggilnya dengan 'Danna' yang artinya adalah suamiku. Rasanya menyenangkan meng-klaim seseorang sebagai seorang suami dan dirinya juga meng-klaim Zahra sebagai seorang istri. Zahra menyukainya, hatinya membuncah kegirangan karena itu.
Satu buah kecupan lembut dan dalam mendarat di bibir Zahra yang menerimanya dengan suka rela. Perasaan hangat itu tak pernah berubah semenjak pertama kali mereka melakukannya bahkan hingga sekarang. Ia tak bisa merasakan sedikitpun perbedaan setelah empat tahun bersama dan sering melakukan hal yang sama. Zahra tak pernah bosan terhadap sensasi dimana bibir mereka beradu, selalu manis, lembut, hangat dan basah.
Ciuman keduanya terlepas secara perlahan dan senyum keduanya tercetak begitu jelas setelah itu. "Bagaimana kalau panggilan itu memungkinkan untuk kita, Khumaira?" ujar Dika dengan tangannya yang mengusap lembut kedua pipi berisi milik Zahra "Sangat sulit untuk memungkinkannya" balas Zahra tak ingin menyakiti perasaan si tomboy.
"Maka aku ingin kita berdua menghadapinya bersama. Aku ingin bersama denganmu selamanya. Berkeluarga, memiliki keturunan, hidup sebagai keluarga yang bahagia. Aku ingin begitu" setiap kali membahas masa depan dan juga keluarga, Dika selalu tampak matang dengan segala rencananya. Tapi Zahra yang enggan karena ia yakin bahwa itu adalah ketidakmungkinan belaka.
"Mauria.." mulai Zahra dengan nada meminta pengertian seraya menggenggam tangan milik si tomboy yang masih saja membingkai wajahnya "Berkeluarga bagi seorang lelaki dan perempuan saja selalu memiliki banyak cobaan. Apalagi kita yang sama-sama perempuan?" nadanya masih pelan namun ia bisa melihat Dika bergetar menahan tangis "Berkeluarga bukan hanya tentang kita berdua. Aku masih punya Ayah dan Ibu yang harus merestuinya. Begitupun kamu"
Dika menengadah sesaat untuk mencegah air matanya jatuh ke pipi "Apa kamu tidak ingin berjuang untuk kita? Kupikir kamu mencintaiku" suara si tomboy kini bergetar ketika kelopak matanya menahan air yang sudah menggenang "Aku tidak percaya kamu bahkan menyerah sebelum mencobanya, Khumaira" sesaat, Zahra bisa melihat ekspresi kecewa dari Dika sebelum akhirnya gadis itu kembali memasang wajah datarnya dan kembali mengemudi.
Apa harus Zahra berjuang bersama dengan Dika untuk melawan agama serta norma?
Apa itu memungkinkan?
Tapi, bagaimana?
*-----*
Riska Pramita Tobing.
Author note: Will they able to fight?
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Teen Fiction"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.