BIG SIN III - Eight

301 21 0
                                    

Multimedia: Mauria Mahardika Sadewa.

*-----*

          Dika tak bisa tidur.

Gadis tomboy itu hanya menatap pada lampu kecil yang dibiarkan menyala di kamar Zahra yang nyaman. Tak disangka, Dika merasa betah berada di kampung halaman Zahra. Ia bahkan sampai lupa kalau dirinya harus segera kembali untuk melaksanakan tugas sebagai mahasiswi.

Sudah hampir dua hari dirinya dan Zahra berlibur *baca: bolos, dari mata kuliah yang bahkan baru saja dimulai. Tapi keduanya sama sekali tak memiliki niat untuk cepat-cepat kembali. Mungkin setelah tiga atau empat hari mereka akan berangkat lagi dari sini.

Tapi, Dika tak ingin berangkat ke kota. Ia ingin tetap di sini. Hidup tenang dan tentram. Apalagi ia menemukan sosok yang bisa mengingatkannya kepada almarhumah Ibundanya.

Dalam temaramnya cahaya malam, Dika mengurut belakang kepalanya yang terasa sakit dan berat. Ada sebagian memori yang menyeruak dari bawah sadarnya saat ia pingsan tadi.

Suara itu...

Suara lembut dan hampir sama dengan suara miliknya. Suara yang sering kali ia dengar di alam mimpinya sebagai Ibunya. Suara yang sempat ia dengar mungkin saat ia masih kecil sebelum Ibundanya memutuskan untuk mengakhiri hidup.

Siapa sebenarnya wanita renta tadi?

Dika mengambil napas panjang yang berat sambil memejamkan mata seraya menghitung dari satu sampai sepuluh untuk menenangkan pikirannya yang sedari tadi terus-terusan terpacu pada masa lalu.

Sejauh yang ia ingat, ia tak pernah mengetahui rupa Ibundanya. Ia selalu hidup di rumah Dipta sejauh ingatannya mencapai. Tapi kenapa rumah tadi terasa sangat familiar seolah ia pernah menginjakkan kaki kesana sebelumnya.

Aroma kayu bakar, bunga anggrek yang menempel di atas pohon mangga, lumut di tembok, basahnya tanah, aroma bakaran lilin berwarna hitam yang entah terbuat dari apa, segalanya. Itu terasa seperti sesuatu hal yang pernah ia ingat sebelumnya.

*--*

   
     Gadis berambut panjang itu berlari perlahan saat ia melihat Ibunya terduduk di halaman seraya memberi pakan ayam. Sambil bersenandung kecil, wanita senja itu terus-terusan menaburkan jagung dan beras kering ke tanah "Bagaimana hari ini? Menyenangkan?"

Si gadis cantik tersenyum kecil. "Cukup melelahkan. Hari ini aku harus kerja sendiri karena rekan kerjaku sakit. Untung saja aku diberi izin pulang sebelum maghrib oleh Pak Dipta"

"Padahal ini hari minggu. Harusnya kamu istirahat di rumah"

"Aku bosan di rumah, bu. Daripada diam saja, kan lebih baik aku kerja. Untung aku bisa bekerja semau aku di warung kopi Pak Dipta. Beliau sangat baik karena tahu kalau aku kekurangan dana di sekolah" si wanita cantik itu menjelaskan tanpa menghilangkan sedikitpun senyum di bibirnya.

"Ibu tahu? Pak Dipta ternyata menyumbang ke sekolahku untuk siswa unggulan. Dan karena aku salah satunya, aku dapat potongan bayaran sampai aku lulus"

Wanita senja itu tersenyum merekah "Sungguh? Syukurlah. Kamu memang pantas mendapatkannya, Mauria"

*--*

          Dika tersentak kaget saat ia merasakan sesuatu yang basah di atas wajahnya. Gadis tomboy itu menatap nyalang pada seisi ruangan hanya untuk mendapati Zahra tepat berada di hadapannya dengan rambut basah sehabis di keramas.

Sepertinya air yang terciprat ke wajah Dika adalah air dari kekasihnya "Eh maaf" ujar Zahra saat ia baru menyadari bahwa si tomboy terbangun karenanya.

Dengan disertai kekehan kecil, Dika bangkit dari kasur dan berdiri di belakang kekasihnya. "Mau kemana? Kenapa pagi-pagi sudah mandi?"

Sambil fokus pada pakaian yang tengah ia pilih, Zahra bergumam sedikit "Mau bantu Ibu ke sawah. Nggak papa kan aku tinggal?

"Nope"

Dan karenanya, si gadis cantik memutar badan ke belakang agar bisa menatap iris mata milik Dika yang tampak gelap di antara temaramnya kamar. "Aku cuma punya waktu sebentar di sini sebelum kita kembali berangkat ke kota dan kuliah. Aku mau memanfaatkan waktuku di sini" ujar Zahra seraya menangkup pipi tirus milik kekasihnya.

Dika menggeleng "Tapi aku nggak mau sendirian di sini. Kalau aku ikut gimana?"

Zahra yang menatap pada iris mata milik si tomboy lantas  mengerutkan kening tidak yakin "Kamu mau ikut ke sawah?" ulang si gadis cantik seolah pendengarannya sedikit terganggu.

Dika mengangguk mengiyakan "Meskipun aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan di sana, seenggaknya aku bisa membantu memberikan semangat buat kamu"

Zahra terkekeh lembut saat ia mendengar ujaran kekasihnya itu. "Yasudah, mandi sana. Nanti kusiapkan baju dan sarapannya."

"Okay. I love you"

Ah, hati Zahra tak pernah tidak meleleh jika saja gadis tomboy itu mengujarkan rasa cintanya secara random seperti ini. Ia tak pernah bosan dengan kata-kata itu.

*--*

     Dika melirik tidak yakin pada jalan kecil yang harus ia lewati. Ada banyak pepohonan di samping-samping jalan yang terlihat basah dan licin. Di depannya, Zahra tampak tertawa girang sambil sedikit berlari di jalan yang tampak horor bagi si tomboy. "Malu-maluin" terdengar ujaran itu dari kejauhan, membuat ego Dika hancur karenanya.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali Dika menginjak tanah merah seperti ini, apalagi dalam keadaan basah dan licin serta kaki yang tidak dilindungi sepatu. Jujur saja, Dika sedikit takut. Tapi daripada melihat gadisnya menertawakan dirinya dikejauhan, ia akhirnya melangkah secara perlahan mengikuti Zahra dan Ibu Nur menuju sawah mereka.

Tak semenyeramkan yang Dika kira. Ternyata jalan menuju sawah milik Ibunda Zahra tak begitu jauh dari tempat tinggal keduanya. Di sawah yang tampak bertumpukan dengan sawah yang lain, Dika bisa melihat banyak warga yang sedang menanam padi. Beberapa diantaranya sedang menikmati bekal atau sedang tertawa bersama sambil mengerjakan pekerjaan mereka.

Sungguh menyenangkan, pikir Dika sebelum akhirnya ia hampir tersungkur ke sawah karena sandalnya tiba-tiba putus.

Dika bisa mendengar tawa dari Zahra yang berdiri tak begitu jauh darinya, tapi meskipun ia menertawakan si tomboy, gadis itu tetap saja mengulurkan tangan untuk membantu Dika turun ke sawah. Di tangan Zahra yang lain, terdapat beberapa ikat padi kecil yang siap untuk ditanam dan gadis cantik itu menyerahkan sedikit ikatan pada kekasihnya "Tinggal tiru Ibu. Gampang kan?"

Dika mengangguk seraya mulai membungkuk dan mencoba menanam padi. Meskipun tangannya kini penuh dengan lumpur dan punggungnya sakit serta terbakar sinar matahari, Gadis tomboy itu tetap menikmati setiap kegiatan yang mereka lakukan. Apalagi saat ia bisa melihat tawa milik Zahra yang selalu keluar saat ia melihat kelakuan Dika yang menurut Dika tidak lucu sama sekali.

Segala hal yang berkaitan dengan kampung halaman Zahra membuat Dika tentram entah kenapa. Seolah ia ditakdirkan untuk menetap di sini selamanya.

Apakah ia memang harus menetap di sini dan meninggalkan segalanya?

Tidak mungkin kan?

Tapi hatinya terasa nyaman di sini.

*-----*

Riska Pramita Tobing.

BIG SIN III Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang