Multimedia: Khumaira Azzahra.
*-----*
Tidak ada canda tawa yang tercipta disaat hidangan terus-terusan berganti, sendok dan garpu sudah mulai kotor dan berkurang sementara keenam orang yang sedang terduduk sambil menikmati hidangan tak mengalihkan fokus sedikitpun dari piring yang terus berdentingan dengan sendok serta garpu. Punggung Zahra sudah mulai terasa panas karena ia duduk tegap terus menerus namun ia tetap saja berusaha sebaik mungkin untuk bersikap formal selama kegiatan makan malam dilaksanakan.
Jika saja boleh jujur, melihat semua orang bersikap seperti konglomerat merupakan sesuatu yang baru bagi Zahra. Ia bahkan tidak tahu cara makan yang baik dan benar di hadapan keluarga Dika dan hanya mengikuti gerak-gerik Lisa yang terduduk bersebrangan dengannya.
Gadis itu selalu tampak anggun, tak pernah membungkuk, selalu mengelap bibir setelah menyuap, minum dengan tenggakan perlahan, memotong daging dengan gerakan yang lihai, tersenyum manis, atau bahkan sesekali menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi.
Kadang, Zahra melirik perlahan ke samping kanan tepat dimana Dika sesekali menyentuhnya lembut atau bahkan membantu Zahra memotong daging agar gadis itu tak kesulitan karenanya.
Segalanya terasa normal, namun begitu aneh bagi Zahra yang tak terbiasa dengan nuansa yang begitu formal seperti ini. Gadis cantik berpipi tembam itu biasanya makan dengan menggunakan satu sendok, terduduk tanpa serbet, atau bahkan mengangkat kaki ketika ia pegal duduk di kursi. Sungguh tak bermoral jika saja harus dibandingkan dengan apa yang tengah dilakukan Lisa di hadapannya.
"Kenyang?" Zahra melirik lembut pada Dika. Kini, gadis tomboy itu menyerahkan puding yang sudah ia potong kecil-kecil untuk menggantikan isi piring Zahra yang pudingnya belum dipotong. Zahra mengangguk perlahan "Kenyang dan pegal" jawab si cantik sama-sama berbisik. Dika terkekeh kecil "Ini terakhir. Makan yang baik yaa" Zahra sedikit malu saat merasakan usapan lembut di pipinya yang tak ditutup oleh cadar, ia yakin bahwa pipinya sekarang semerah tomat karena perlakuan manis Dika dihadapan orangtuanya.
Terdengar desahan berat dari sisi lain meja "Kenapa aku terlihat melajang sekarang?" itu ujaran dari Dipta yang langsung saja membuat Zahra jadi melepaskan diri dari belaian Dika terhadapnya. "Jangan cemburu, kamu masih punya aku, Mas" balas Karina dengan senyum kecil "Tapi kamu tidak memperlakukanku seperti Dika memperlakukan kekasihnya"
Tunggu dulu.
Kekasihnya?
Sejak kapan Ayah Dika mau mengakui Zahra sebagai kekasih Dika?
Zahra yakin bahwa ekspresi terkejutnya sama dengan ekspresi milik Dika saat mereka berdua menatap pada lelaki tampan itu. "Ayah dengar kalian sudah bertunangan. Apa itu benar?"
TUNGGU DULU!
SEJAK KAPAN AYAH DIKA BAIK-BAIK SAJA TERHADAP HUBUNGAN ANTARA DIKA DENGAN ZAHRA?
DAN BAGAIMANA CARA DIA MENGETAHUI KALAU MEREKA BERTUNANGAN?
Meskipun Zahra tahu bahwa Dika sama terkejutnya dengan segala hal yang diucapkan Dipta terhadap hubungan antara mereka berdua, gadis tomboy itu tetap mengangguk mengiyakan "Baru beberapa minggu" ujarnya sambil lalu memperlihatkan jari manis yang sudah diikat oleh cincin.
Dipta tersenyum kecil "Kenapa tidak ada kabar kemari?"
Dika melirik cepat pada Zahra. Kini, mereka tengah sama-sama memasang ekspresi tidak mengerti terhadap perlakuan Tuan Mahardika terhadap keduanya "Pertuangannya hanya melibatkan kita berdua. Aku tidak suka keramaian yang memandang kami dengan pandangan menghina. Cukup kita yang tahu tentang apa yang terjadi di antara hubungan kita berdua" Zahra menggigit bibir dengan gugup meskipun Dika menjawab pertanyaan orangtuanya dengan lancar seolah ia memang sudah mempersiapkan ini dari sebelumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Novela Juvenil"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.