BIG SIN III - Twenty

293 18 10
                                    

Multimedia: Kayra Nayda Putri Sagara.

*-----*

          Cahaya terang merambat secara pelan itu mulai memasuki kamar ketika Zahra sedang asyik bergelung di lengan milik Dika. Hari libur yang menyenangkan. Ia dapat beristirahat sebanyak mungkin dari kegiatan kampus yang sudah mulai terasa melelahkan dan memakan waktu. Sudah jam berapa sekarang? Ia tak ingat sejak tadi dirinya melaksanakan solat subuh.

Zahra melirik sekilas pada Dika yang masih terlelap, wajah manis itu tak pernah berubah sedikitpun. Gadis itu hanya memperbanyak senyuman terhadap dirinya belakangan ini dan itu merupakan tanda yang bagus.

Zahra ingat betul saat pertama kali mereka bertemu, gadis urakan yang mengikat rambut berwarnanya dengan asal, kemeja kotak-kotak berwarna merah hitam dengan kaus hitam polos yang ia kenakan tampak terlalu besar dan kusut, celana jeans membungkus ketat pada jenjangnya kaki itu berwarna hitam dan memiliki sobekan dari mulai lutut sampai ke atas paha. Tapi sorot matanya yang tangguh tak pernah bisa membuat Zahra berhenti mengagumi gadis itu diam-diam.

Zahra bahkan ingat bahwa saat malam pertama mereka tidur di atap yang sama, ada getaran aneh saat gadis cantik itu melihat Dika sedang tertidur lelap ketika dirinya melaksanakan solat tahajud. Posisi tidur yang terlihat tenang dengan tangan mendekap di atas perut, kaki yang sedikit terbuka dan napas yang teratur itu membuat Zahra jatuh pada pesonanya.

Kalau saja Zahra mengakui perasaannya terhadap Dika lebih dulu, ia mungkin sudah mencium gadis itu sejak malam itu. Zahra tak pernah tahu rasanya jatuh hati, tapi dengan Dika semua perasaan membuncah dan bahagia itu selalu saja menghiasi perjalanan keduanya.

Tak jarang mereka berdebat satu sama lain, saling meninggikan suara untuk memenangkan adu argumen yang terjadi di antara keduanya. Tapi tak jarang pula keduanya bersikap manis terhadap satu sama lain. Seimbang bukan?

"Banguuuun, udah siang. Katanya mau ke pasar" merasa terganggu dengan goyangan lembut di bahunya, Dika merengek sedikit "Lima Menit lagi" katanya sedikit melantur. Jawaban yang sama setelah empat tahun lamanya mereka bersama, Zahra tak heran dibuatnya. Gadis cantik berpipi tembam itu pasti lebih heran jika saja Dika langsung berdiri dan menuruti apa yang diperintahkan oleh Zahra.

Sambil merentangkan otot-ototnya yang beristirahat semalaman, Zahra melirik ke luar jendela. Terlihat hamparan sawah yang cukup luas sedang dibajak oleh mesin, pemandangan itu sedikit membua Zahra merindu dengan kampung halamannya. Jika saja ini adalah kampung halamannya, pasti sawah itu dibajak oleh kerbau.

Zahra berjalan perlahan menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian, gadis cantik itu kembali untuk menemukan bahwa Dika masih terlelap di atas kasur mereka. Lihat? Lima menit adalah waktu yang panjang jika urusannya dengan Dika. "Sayang, ayo bangun"

Seolah ditampar oleh kenyataan, gadis tomboy itu seketika tersentak dan duduk di atas kasur. Tangan berisi miliknya seketika meraih untuk memeluk si cantik dan menghirup aroma segar dari tubuh Zahra yang baru saja mandi "Aku suka saat mendengar kamu memanggilku dengan panggilan sayang" ujarnya tanpa memisahkan pelukan keduanya.

Zahra tersenyum sedikit "Iya?" tangan si cantik kini tengah mengusap rambut panjang milik Dika yang masih berantakan akibat bantal "Um!" si tomboy mengangguk "Tapi aku ingin panggilan yang lebih spesial" ujarnya sambil menarik diri.

Zahra memiringkan kepalanya ke satu sisi karena bingung "Panggilan seperti apa yang kamu mau?"

"Apa saja"

Masih dengan kepala yang miring, Zahra mengerutkan kening tak menemukan satu pun inspirasi untuk memanggil Dika dengan sebutan apa "Aku tidak punya panggilan lain"

"Laras memanggil Kayra dengan sebutan 'my fiance'. Awalnya aku juga berpikir kalau itu terdengar mengerikan tapi itu memiliki arti yang spesial dan aku juga menginginkannya"

"Hmm?" bibir merah milik Zahra berkedut makin heran "Apa kamu mau julukan 'girlfriend?'" usul dari Zahra langsung di tolak oleh gelengan dari Dika "Membosankan. Aku ingin panggilan yang lebih romantis dan unik"

"Baby?"

"Kamu pikir tampangku kurang galak? Kenapa pula aku dipanggil baby?"

Zahra tertawa sedikit "Babe?"

"Sama saja dengan Baby"

"Honey?"

Alis si tomboy mengkerut dalam "Siapa yang memanggil kekasihnya dengan nama makanan?"

"Yaampun" desah Zahra sedikit frustasi "Banyak orang yang menggunakan kata honey untuk memanggil kekasihnya"

Dika menggeleng "Pastinya bukan aku"

Sambil mengurut kepalanya yang tiba-tiba saja terasa pening, Zahra melepaskan napas panjang tanda menyerah "Kamu mau dipanggil apa?"

Dika memiringkan kepalanya sesaat sebelum memberikan kecupan singkat pada si cantik "PR buat kamu hari ini adalah mencarinya"

*--*

     Sambil menata bahan-bahan masakan yang sudah dibeli di pasar beberapa saat yang lalu, Zahra menggumamkan irama kecil dari lagu yang tak ia hapal judulnya. Gadis itu sesekali menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama yang ia buat sendiri sementara Dika sedang terduduk di ruang keluarga sambil menyumpal telinganya dengan earphone.

Sebenarnya, Zahra masih kepikiran soal nama panggilan yang harus ia berikan kepada Dika. Gadis cantik yang sedang menata telur itu sesekali mengerutkan kening karena masih tidak tahu apa sekiranya nama kecil yang pantas untuk Dika. Apalagi gadis tomboy itu memiliki selera yang berbeda dengan kebanyakan orang, Zahra tak tahu sekarang.

"Mau masak apa buat makan siang?" Zahra tersentak saat ia merasakan sentuhan tangan yang tiba-tiba meliliti tubuhnya dari belakang. Gadis tomboy itu terkekeh sedikit sebelum akhirnya menyantolkan dagu di bahu si cantik yang lebih pendek darinya. "Kamu mau apa?"

"Hmmm" sedikit bergumam, Dika kemudian menyingkapkan rambut panjang Zahra dan menggulungnya asal menggunakan tangan "Apapaun yang akan dimasak oleh istriku, aku akan menyukainya" celetuk Dika membuat Zahra sedikit kaget atas panggilan yang diberikan Dika terhadapnya, ada perasaan sakit saat ia mendengar kata 'istri' terucap begitu mudah dari mulut si tomboy.

"Kalau begitu, aku masak perkedel dan sayur kangkung ya?" berusaha tak menanggapi panggilan yang diberikan Dika terhadap dirinya, gadis itu kemudian bergerak perlahan untuk memisahkan diri dari pelukan Dika yang justru semakin mengencang di perutnya "Kamu menyukainya?" bisik Dika dengan suara serak seolah menahan tangis "Aku ingin memanggilmu begitu" lanjutnya masih dengan nada yang sama.

Zahra menggeleng "Nggak bisa" balas Zahra seadanya "Aku bukan istri kamu. Atau lebih tepatnya belum jadi istri kamu"

Masih memeluk Zahra, gadis tomboy itu menyembunyikan wajahnya di antara lekukan leher Zahra "Aku ingin memanggilmu begitu" kukuhnya dengan suara gemetar seperti menahan tangis. Sejujurnya, Zahra juga merasakan hatinya membuncah ketika ia mendengar bahwa Dika memanggilnya dengan sebutan 'istri' untuk pertama kali.

Tapi, Zahra kemudian sadar bahwa itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dan kebahagiaan itu menghilang secepat kilat. "Aku ingin menikahimu" Zahra bisa merasakan isakan lembut di balik lehernya "Aku ingin menikahimu, Khumaira"

Hati Zahra sakit karena ucapan Dika. Kenapa semuanya terasa sangat sulit saat dengan Dika? Apakah mungkin dirinya harus berhenti dan sadar? Apakah ini pertanda bahwa mereka sudah harus berpisah sekarang?

*-----*

Riska Pramita Tobing.

Author note: Hmmm bau-bau sad ending.

Hmmm.....

BIG SIN III Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang