Multimedia: Khumaira Azzahra.
*-----*
Sepanjang perjalanan, Zahra melirik ke luar mobil untuk menikmati sinar matahari yang tampak cerah namun tetap manghangatkan. Jalanan terasa sempit semenjak dirinya dan Dika keluar dari kampus, padahal rumah Dika tak begitu jauh dari kampus keduanya tapi mereka sudah menghabiskan hampir empat puluh menit untuk masuk ke jalur utama mobil setelah terjebak di jalur yang penuh dengan pengendara motor dan kendaraan umum.
Suara lagu yang melantun perlahan serta ice cream rasa vanila yang ada di tangan Zahra sepertinya menyatu membuat gadis cantik itu jadi sedikit bernostalgia pada kejadian saat pertama kali ia mengendarai mobil milik Dika. Gadis cantik itu tak pernah tidak kagum pada barang pemilikan gadis tomboy itu, semuanya pasti berkelas dan berharga fantastis.
Sedikit murung karena tiba-tiba rasa tidak percaya diri memasuki pemikirannya, Zahra kemudian melirik pada gadis disampingnya yang tengah memejamkan mata sambil menunggu mobil dihadapannya maju ketika mereka terjebak di lampu merah. Pakaian kasual yang dikenakan Dika memang terlihat biasa saja, tapi Zahra tahu kalau gadis itu mengenakan branded terkenal yang harganya bahkan sudah bukan pada angka ratusan ribu.
Kaus polos gadis tomboy itu bahkan berharga tiga ratus ribu rupiah karena itu terbuat dari serat bambu. Jam tangan gucci yang melingkar di tangannya bahkan hampir mencapai angka lima juta rupiah. Meskipun ia memakai jas almamater dari kampus dan juga celana bahan sederhana yang mungkin harganya hanya sekitar dua ratus ribu rupiah, gadis tomboy itu menambah digit yang dia pakai di sepatunya yang bermerk nike yang harganya mencapai dua juta rupiah.
Zahra hampir mengurut kepalanya yang terasa pusing saat ia mencoba menjumlahkan berapa uang yang harus dikeluarkan si tomboy untuk berpakaian seperti ini. Padahal itu terlihat murah dan biasa saja.
Tangan Dika terulur untuk mengambil satu sendok ice cream vanila dari genggaman Zahra ketika mereka lagi-lagi terjebak di lampu merah "Mau makan di luar atau mau masak?"
Zahra sedikit mengerutkan kening saat ia melihat Dika mengambil satu sendok yang lain sehingga hanya tersisa sedikit "Di luar aja. Belakangan ini kita belum membeli isi kulkas. Kalau belanja dulu, pasti kamu kelaparan.
! Udaaaah, aku masih mau" rengek si cantik saat Dika hampir saja mengambil satu sendok yang lain.Si gadis tomboy terkekeh "Hari minggu kita ke pasar ya? Aku kangen pasakan kamu" dengan cepat, Zahra mengangguk "Boleh, kalau kamu nggak ada kegiatan di resto"
Dika meringis sedikit "Meeting" ujarnya seolah ia diingatkan sehingga membuat Zahra mendecak "Ada masalah?" Dika menggeleng kecil "Kemarin malam, aku berbicara dengan pemilik Cafe yang belakangan ini meluncur naik sampai membuat ranking Restoran Mahardika turun beberapa bintang. Aku ingin membicarakan strategi bisnis dengannya. Anggap saja belajar darinya"
Zahra mengangguk kecil "Boleh ikut?"
"Tentu! Dia juga mebawa kekasihnya. Kupikir tak ada salahnya kalian saling kenal satu sama lain. Siapa tahu dia bisa jadi teman barumu"
*--*
Minggu, 08:30.
Zahra dan Dika sudah berada di dalam ruangan VIP yang biasa disewakan restoran kepada orang-orang penting. Ruangan cukup luas dengan televisi serta speaker yang tertempel di dinding, meja cantik berwarna cokelat kehitaman yang berada di tengah ruangan, enam kursi tersedia mengelilingi sisi kanan, kiri dan belakang meja, karpet lembut, suasana temaram, dan dekorasi yang apik memenuhi pemandangan Zahra sekarang.
Ia baru memasuki tempat ini meskipun dirinya sudah berkencan dengan pemilik restoran begitu lama. Tak lama setelah iris mata milik Zahra menelusuri seisi ruangan dengan matanya, pintu di ketuk dan terbuka sendirinya untuk memperlihatkan sepasang kekasih yang terlihat menggoreskan senyum manis pada dirinya dan Dika. "Kayra! Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu" sapa si tomboy lantas berdiri dan memeluk perempuan berambut pendek yang mengenakan setelan santai.
Seorang gadis berambut hitam di belakang Kayra terseyum menyapa padanya dan Zahra hanya bisa membalasnya dengan senyuman serupa. "La, kenalkan, Dika adik kelasku semasa SMP" dengan senyum malu, gadis cantik yang memiliki pipi tembam itu menyerahkan tangan pada Dika yang langsung menyambutnya "Laras" dan dengan itu, Zahra ikut menyalaminya "Zahra"
"Senang berkenalan dengan kalian" meskipun tampak kaku, gadis cantik berpipi tembam itu tetap terlihat profesional saat ia duduk dan menutupi kakinya dengan bantal.
Zahra menegapkan badan untuk menyesuaikan postur tubuh mereka bertiga. Ia tak pernah bertemu rekan bisnis sebelumnya dan ia tidak tahu apa yang sekiranya akan dibicarakan mereka beberapa saat kedepan. "Kudengar kemarin Restoran Mahardika ini kebakaran" pandangan lembut milik si tomboy bernama Kayra menyusuri setiap sisi ruangan "Tapi, ini terlihat baik-baik saja"
"Aku sudah memperbaikinya. Lagipun, kerugiannya tak begitu besar" balas Dika saat ia menekan bel kecil yang ada dekat dengan kursinya untuk memanggil pelayan.
Zahra sempat menggeleng sesaat ketika ia mendengar Dika berucap dengan mudah bahwa kerugian restorannya tak begitu besar. Padahal Dika sampai meminjam uang pada Ayahnya yang bahkan belum di tebus hingga sekarang. "Tempatnya nyaman, iya kan Kay?" suara lembut milik Laras mengalihkan perhatian Zahra yang sedari tadi jatuh pada buku menu di tengah-tengah meja.
Kayra mengangguk mengiyakan "Lebih kasual kalau saja harus dibandingkan dengan Cafe kita yang memilih tema modern"
Laras menyerahkan senyum ramah pada Dika "Aku lebih suka Resto punya dika dibanding Cafe kamu. Warna Cafe Kay terlihat sangat mencolok. Cocok untuk anak-anak remaja. Tapi kalau Resto Dika lebih kalem dan dewasa" jelas Laras sambil memainkan cincin berlian yang tampak indah di jari manisnya. Tak bisa dipungkiri, Zahra tertarik dengan cincin itu, apakah dirinya sudah dilamar oleh Kayra? Tapi, bagaiamana bisa?
"Mungkin itu juga alasan kenapa Cafeku naik dari rating 3 ke 1 dan menurunkan Resto Dika ke posisi 2" komentar yang terdengar sedikit pedas dari Kayra menyadarkan Zahra sehingga pandangannya beralih kepada gadis tomboy yang sedang menggulung lengan sweaternya secara asal.
Meskipun diberikan kritik pedas, Dika mengangguk mengiyakan terhadap komentar Kayra yang memang masuk akal "Ya. Bisa saja. Karena orang dewasa biasanya tidak akan merekomendasikan tempat lewat internet. Mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan"
Zahra melirik kembali pada si gadis cantik berpipi tembam yang terlihat bersemangat "Kupikir juga begitu"
Zahra mematung. Ia tidak paham.
Dika yang menyadari bahwa kekasihnya tak akan bisa ikut andil dalam pembicaraan bisnis langsung memberikan buku menu "Pesan makan. Pasti lapar" katanya saat seorang pelayan akhirnya datang menghampiri ruangan mereka.
Zahra merasa iri pada Laras. Ia juga ingin membahas bisnis seperti dirinya yang bisa membantu Kayra menentukan beberapa ide. Kenapa Dika tak pernah mengajaknya berbincang masalah bisnis?
Ia iri pada Laras.
Laras gadis yang pintar dan membantu terhadap pasangannya. Kenapa ia tidak?
*----*
Riska Pramita Tobing.

KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Teen Fiction"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.