Multimedia: Khumaira Azzahra.
*-----*
Air mata Zahra turun seketika saat ia ditinggalkan begitu saja oleh Dika setelah gadis tomboy itu meminta perpisahan terhadap keduanya. Gadis tomboy itu mengucapkannya begitu mudah seolah ia tak memikirkan perkataan itu sama sekali. Kemana peginya Dika yang bahkan tak pernah ingin untuk bertengkar dengannya?
Zahra masih terisak, hatinya terasa di cabik-cabik dengan kasar oleh perkataan si tomboy terhadapnya "Berpisah? Apa Mauria memang ingin berpisah denganku?" semakin keras Zahra menangis, semakin sakit pula perasaan di dalam dadanya.
Kenapa semuanya terasa begitu sulit ketika dengan Dika?
Apakah memang berpisah adalah jalan yang terbaik untuk keduanya?
*--*
Zahra turun dengan ragu dari mobil bus yang membawanya pulang ke rumah. Mata gadis itu tampak bengkak setelah seharian menangis dan ditinggalkan Dika entah kemana. Zahra tahu bahwa keputusannya untuk pulang ke kampung halaman dan menghindari pembicaraan ini adalah keputusan egois dan kekanakan, tapi ia juga ingin membersihkan pikirannya disini.
Dengan senyum kecil menghiasi wajahnya, Zahra mengetuk pintu rumah yang langsung dibuka oleh Ibundanya "Ibu" bisik Zahra seraya menghambur ke pelukan Nurunnisa dan menangis sesenggukan di sana. "Ibu" ulangnya lirih seolah ia meminta kekuatan dari wanita cantik yang tampak kebingungan dengan alasan mengapa putri sematawayangnya seperti ini "Ada apa?" tangan lembut milik Ibu Nur bergerak perlahan untuk mengusap punggung putrinya perlahan.
Masih dengan tangis yang menggila, Zahra melepaskan pelukan mereka secara perlahan lantas mencium punggung tangan Ibundanya "Aku sayang Ibu" gadis cantik itu masih saja terisak meskipun kini air matanya tengah di usap oleh sang Ibunda "Ibu juga sayaaang banget sama Zahra" balasnya seraya mengecup pucuk kepala si cantik yang tertutup hijab dengan rapi.
Sambil mengusapi sisa air mata yang meluncur secara deras dan beranak sungai di pipi putrinya, wanita senja itu memperlihatkan anaknya yang sudah tumbuh dengan baik hingga sekarang "Kenapa pulang? Memang nggak kuliah?"
Zahra menggeleng "Cuti dulu bu, aku lagi mau menenangkan pikiran"
Nurunnisa tersenyum sedikit "Bertengkar dengan Kakak?" tebaknya
Zahra melirik perlahan "Kakak?" ujarnya disertai alis yang terangkat satu.
Wanita senja itu mengangguk mengiyakan "Iya Kakak Mauria"
Jleb~
Kakak.....
Zahra tersenyum kecil "Enggak kok bu. Tugasku udah selesai dan kelas nggak ada yang menarik kalau tugas sudah selesai. Makanya aku pulang beberapa hari" jawaban yang terkesan rancu itu diangguki saja oleh Ibu Nur yang tak ingin meningtrogasi anaknya yang tampak kelelahan.
"Yasudah istirahat dulu. Ibu mau ke tempat penggilingan padi" tangan renta milik Ibu Nur bergerak perlahan untuk mengusap pipi berisi milik Zahra dan gadis cantik itu hanya mampu menganggukinya dan menurut begitu saja.
Dengan tatapan kosong, Zahra memasuki kamar dan melirik pada foto kecil yang baru saja ditempelkan Ibunya beberapa saat lalu. Dua anak perempuan yang tengah memakai baju serupa tengah berdiri berdekatan satu sama lainnya, yang satu tampak tinggi sementara yang satunya tampak berisi. Memori mengerikan yang terjadi sekitar sembilan belas tahun yang lalu, memori dimana Zahra bahkan tak bisa mengingat bahwa itu adalah kekasihnya yang baru saja menyatakan perpisahan di antara keduanya.
Kepala Zahra terasa berat sekarang, ia sudah terlalu banyak menangis. Gadis itu memutuskan untuk membuka semua pakaian yang ia kenakan dan menggantinya dengan daster yang biasa ia kenakan di rumah sebelum akhirnya merebahkan diri di atas kasur.
![](https://img.wattpad.com/cover/314119849-288-k757403.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG SIN III
Teen Fiction"Bersamamu memang tak mudah. Tapi aku tak sanggup jika tanpamu" -Mauria Mahardika Sadewa. By: Riska Pramita Tobing.