01 | melenceng

437 27 37
                                    

"Tuh kan! Baru aja gue bilang tadi. Masa sih, lo nggak kenal mereka?"

Eva dan Tias adalah dua anak perempuan yang keasikan menyaksikan pergerakan si murid baru dan satu orang laki-laki––wajahnya tampak familiar. Baru jadi buah bibir mereka sudah menunjukkan interaksi. "Namanya Mandalaka, Madaswara. Kerjaannya berantem mulu suwer."

"Mandalaka itu ketuanya Arkana Mahasuraja. Anak konglomerat. Mereka sekumpulan anak-anak yang nggak akur sama orangtuanya, terutama bokap. Atau nggak ya kurang kasih sayang alias broken home."

"Mereka sering kabur bareng seharian. Nongki entah ke mana, sering nyentuh dunia malem bahkan suka gonta-ganti cewek. Katanya sih, Nata cocoknya gabung Mandalaka, soalnya dia masuk kriteria tuh. Selain tajir dia juga termasuk playboy. Kalau, Madaswara itu ketuanya... Nathala Mahareza, yang tadi noh. Nggak beda jauh sih sama Mandalaka, bedanya mereka bukan anak-anak broken home yang nyari kebebasan, hahahaha!" jelas Eva.

"Mereka itu musuhan. Ketuanya sama-sama pengen nguasain anggota masing-masing. Yang artinya, baik Arkan maupun Nata mereka pengen ngebuat Mandalaka sama Madaswara jadi satu nama. Alias gabung. Tinggal mikir gimana cara mereka mempertahankan anggotanya." Mendengar penjelasan panjang lebar itu Tias mengangguk-angguk tak menyangka.

"Hah serius? Ada juga ya yang kayak gituan di sekolah ini." Biasalah, anak itu memang sedikit polos dan kutu buku. Hingga menyenangkan menceritakan hal-hal aneh berkaitan dunia liar.

"Lo mau tau kenapa bahaya buat Naren deket sama Nata atau Arkan? Ya, karena circle-nya Lana itu termasuk cewek-cewek yang anti banget jatuh cinta, ya––kecuali sih si Sasha sih. Kasian merekanya kalo dimainin," tandas Eva lagi antusias.

~~~~

Tiada satupun murid yang digotong ke dalam UKS kecuali orang itu dalam keadaan nyaris sekarat. Hal tersebut membuat Naren penasaran oknum penguasa mana.

Suara kericuhan dari luar mendadak meredam saat pintu ditutup rapat. Menyisakan ruangan bernuansa putih lengkap ranjang.

Lengkap bersama manusia dengan keadaan mengenaskan. Dasinya bahkan tergeletak di bawah lantai sementara empunya memegang kepala. Entah karena ia yang jarang peduli pada murid kelas lain atau memang wajahnya tidak dapat dikenali. Cairan merah mengalir sana-sini, mirip korban tawuran.

Serius hanya berdua? Ya, sungguh seperti dugaan Nareina bahwasanya pastinya tidak akan banyak isinya. Terbukti hanya ada satu.

Kakinya masih memakai kaus berjalan cepat bersama desahan pelan. Duduk di depan lelaki itu yang tampaknya enggan membuka mata.

Lama dilihat akhirnya dia menunjukkan perubahan mimik wajah, matanya melotot mendapati manusia lain. Nareina pun tersentak. Jangan bilang dia mau tiduran doang lagi.

"Ambilin apa gitu, kompres muka gue," titahnya belagak seorang boss. Ia masih menutup bagian matanya juga mengeluarkan erangan dan ringisan kecil.

"Itu doang kan?" tanya Nareina malas. "Bentar, tapi kompres sendiri." Cewek itu memang dasarnya ogah-ogahan mengurus orang sakit, apalagi cowok habis kelahi.

Pikir saja, emang ada gunanya?

Meraih wadah serta kain yang memang tersedia di sana lalu segera mencari air bersih. Kembali dengan ekspresi sama datarnya. Lelaki di depannya baru melepaskan tangan dari wajah, alis tebalnya terangkat seakan bersiap melakukan komplain.

"Udah dibantuin itu terima kasih, jangan banyak ngang nging ngong."

Kerutan di dahinya justru semakin menjadi. "Belum juga ngomong," sungutnya merampas alat kompres lantas langsung menempelkan ke sebelah matanya.

Catching FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang