33 | soal perasaan

57 3 0
                                    

Lampu-lampu panggung dan dekorasi belum sepenuhnya dimatikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lampu-lampu panggung dan dekorasi belum sepenuhnya dimatikan. Pemilik acara lari ke area bar yang berada di ujung sana, sedikit lebih jauh, condong ke laut.

Tak tersisa orang di area ini kecuali dirinya, terjaga dengan mata sayup-sayup, duduk dan menyenderkan bahu di sofa kedua, paling depan. Ketimbang alkohol ia meneguk beberapa gelas air putih.

Di malam ulang tahunnya sekalipun, hanya ingin mencari ketenangan, berani-beraninya satu orang mengacaukan.

"Lanala." Nyaris tutup mata dia.

Terus larut hingga seseorang menepuk bahunya pelan."Jangan ketiduran di sini."

"Mau tidur lu di sini?" Ah, sungguh di luar ekspektasi siapa gerangan. Mengerjap dua kali, tak percaya Nareina masih peduli.

Dia menggerutu kesal tapi anehnya tetap duduk di hadapannya. Di pikiran Nareina, baru kali ini melihat orang yang terlihat menyedihkan di hari ulang tahun, kecuali dirinya. Biar oleh orang tuanya, menghadiahi cafe seluas ini.

"Hm, gue mau minta maaf soal waktu itu, lo tau lah apa." Ia garuk-garuk kepala. Sedangkan Naren mengangguk pelan, langsung paham. Lagipula, memang masih ada haknya cemburu?

"Lo nggak pulang?" tanya Naren, pikirnya, apa bagusnya berlama-lama menghabiskan waktu sendiri.

"Harusnya gue yang nanya nggak sih?" Keduanya bergeming, hanya tersisa bunyi gelombang ombak.

Lana menyingkirkan botol dan gelas minuman, melakukan kontak mata lebih dekat. "Gue... Ya masa mau ninggalin lo pulang," katanya, kelihatan kikuk. jelas arahnya ke mana. Terus mendapatkan perhatian serius dari Lana, dan pada saat itu juga lampu-lampu dekorasi dipadamkan.

Nareina mendecak malas. "Pulang bareng yok, gue anterin." Caranya seperti membujuk anak kecil, membuat Lana bergidik geli.

Lagi-lagi dirinya hanya merespon dengan gelengan kepala serta eskpresi datar nyaris tak pernah berubah. Belum apa-apa Nareina sudah dibuat kehabisan akal. "Harusnya lo tuh nikmatin hari bahagia lo. Cafe segede ini hadiah dari Mami Papi masa nggak bikin seneng," guraunya, sekalian memuji.

Sunyi, tenang, datar. Begitu kondisinya. Lana mengetuk-ngetuk meja beberapa kali."Coba lihat gue, seneng nggak?"

Skakmat. Ia benar-benar tidak bisa menjawab karena apa yang ia lihat adalah keadaan yang sebaliknya. Kira-kira apa masalahnya? Dia hampir punya semuanya. Kekayaan, keluarga lengkap cemara, saudara-saudara sukses dan terkenal, jumlah teman tak terhitung.

"Kenapa?" Belum dijelaskan Lana tau ke mana maksud inti pertanyaannya.

"Gue selalu gagal dalam percintaan."

Deg.

"Mungkin orang-orang pikir gue sempurna. Nyatanya ... Ngelihat orang lain ngebahas pasangannya, buat gue ngerasa ada lubang hitam besar di dada gue," jedanya memandang langit sejenak. "Iri ngelihat mereka bisa sebahagia itu." Sebelah tangan terangkat menyentuh dada. "Gue tau apa alasannya. Gue nggak bisa bener-bener ngerasa hidup karena gue nggak bisa jatuh cinta sama sembarang orang." Dua gadis--kebetulan sama-sama memakai dress coklat saling memandang, menelisik mencari letak kekurangan masing-masing."Dalam hidup, jarang banget gue menaruh rasa kagum sama seseorang, apa namanya? Mati rasa."

Catching FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang