Melaju cepat meninggalkan padat jalan raya. Untuk sekali mengabaikan rambu-rambu lalu lintas dengan kecepatan tinggi. Bahu kanan dan kirinya serasa berat sejak semalam, terlebih saat mendapatkan informasi mencengangkan.
Dengan keterbatasan petunjuk yang ada. Rela menjelajahi jalan yang terlihat lumayan asing sebab jarang dilewati. Syukurnya tak perlu menyalip pengendara lain karena mulai sepi.
Laju kendaraan sengaja dipelakan sembari barangkali menemukan bangunan yang dicari melalui insting dan petunjuk tipis dari teman-temannya. Ia mendongak sekilas menatap sinar mentari yang terbenam di balik awan tebal.
Menengok ke kiri dan kanan mengamati jeli. "Ada pot bunga," gumamnya pelan meneliti cukup lama deretan perumahan. "Anying semua ada pot bunga juga. Ck si Kenan emang...," jedanya. Sebelum dirasakan getaran ponsel di saku celana.
Ia matikan mesin motornya, lalu mengangkat telpon. "HALO!" pekiknya agak keras refleks memukul bibir sendiri. Biasalah, maklumi saja namanya juga anak kolot. Lama tidak membawa telepon menggengam.
"BUSET, KUPING GUE SAKITT SATT!" Refleks menjauhkan tangan dari pendengaran, giliran dia yang merasakan kupingnya berdengung tinggal tunggu budeknya. Ia membuka kelopak matanya perlahan-lahan.
"Ya-ya maaf. Gue nggak tau," ucapnya polos. Kenan mengernyitkan dahi heran baru berani menempelkan ponsel ke telinga.
"Nggak tau apanya sih?"
"NGGAK TAUU KALAU NGOMONGNYA BIASA AJA TETEP KEDENGERAN!" pekiknya lagi sengaja buat masalah ke sekian kalinya. Yah, mau bagaimana lagi? Namanya juga Nathala.
"Cih... sengaja lu mah," decihnya mukanya memerah menahan amarah. Tetapi setau Nata sejak orok Kenan belum pernah marah padanya, sekalipun itu hal-hal kecil yang sebenarnya tidak apa dipermasalahkan untuk meramaikan pertemanan.
Tawaan kecilnya sampai pada Kenan yang jauh di mata, sedang rebahan di atas kursi, ditemani kopi hangat sembari asyik memandang ke keluar balkon kamar.
Ia sudah meminta izin absen bekerja bersama Nata kepada Pak Roland sehari saja. Karena misinya masih setengah perjalanan, atau malah bahkan belum ada seperempat jalan? Entahlah.
Kenan itu sebenarnya sahabat yang setia. Umpamanya begini, 'kalau kamu nggak pergi, aku juga enggak.' Begitulah pertemanan mereka berjalan, terlihat sangat lengket bagai perangko.
"Eh, udah ah! Panas anying neduh dulu gua." Tak ragu Kenan menertawakannya entah di mana. Terlebih caranya tertawa sangat menular membuat kedua remaja itu mengeluarkan jurus ketawa ala bapak-bapak. Mungkin saja Nata sudah mirip orang gila. Menepi di bawah pepohonan rindang.
"Kasihan, mana masih muda." Nata mendadak menghentikan tawanya langsung menatap ke arah sumber suara. Astaga, itu padahal bocah SD sudah berani ngatain orang dewasa dia, pikirnya. Sejenis anak SMP yang suka ngeluh hidup paling berat semuka bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Feeling
Teen FictionSerangkaian kisah tentang Mahareza dan Megantara. Malapetaka berawal dari Naren, seorang mahasiswi sekaligus fotograper amatiran yang disewa oleh seorang wanita, mengambil foto dari selebriti yang namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan kare...