07 | pendendam

71 14 52
                                    

"Tadi Ayah nyariin ke sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tadi Ayah nyariin ke sini. Kamu kenapa nggak pulang?"

Pukul sembilan malam baru tiba di kontrakan yang ditinggali ibu dan saudaranya. Mulanya berniat menemui nenek tetapi ternyata wanita itu sudah pulang lebih awal. Pulang ke kampung halaman, jauh sekali tidak mungkin Naren menyebrangi lautan dulu.

"Pulang ke?"

"Ya rumah."

"Ya mana, punya ayah atau ibu kan ada dua." Setelah melontarkan kalimat tadi ia tak mendengar kelanjutan aktifvitas sang ibu.

"Ayah. Dia yang sering banget nanyain kamu, udah pulang belum jam segini, ngekost nya betah enggak di sana, masih ada beras nggak."

Nareina bertengger pada kabinet menyaksikan punggung beliau. Nampaknya baru pulang dari negeri sebrang tempatnya bekerja. "Bu, tolong kasih tau Ayah. Nggak usah sok baik kalau buat ngakuin Naren sebagai anaknya aja nggak bisa. Emang dikira nggak capek apa dikatain anak haram sama orang lain? "

Suaranya tak gentar justru ingin berhadapan langsung dengan, Kirana. Wanita itu menenteng sapu di genggaman. Helaan sekali, teramat pelan. "Maaf ya... Kamu, kenapa nggak pernah cerita?"

Melihat kerutan lelah di wajah beliau, dan mengingat kerja kerasnya menghidupi, terkadang memang bisa sedikit membebani pikiran.

Tanpa sengaja Nareina melemparkan dirinya ke derasnya arus. Mau tak mau harus menjawab. "Apa aku harus nambah beban Ibu?" sindir Naren.

Mata Kirana mendelik mendengar penuturan anak gadisnya. Sepertinya banyak yang berubah dari Nareina lama versi sekarang. Termasuk caranya berbicara tidak lagi sungan mengungkapkan ketidaksukaan.

"Maaf, ya Nak. Udah lama rasanya Ibu ninggalin kamu buat kerjaan." Apa katanya? Sudah lama Nareina tidak mendengar ungkapan sayang sesederhana panggilan tadi. "Harusnya Ibu sering pulang."

"Nggak papa. Aku nggak salahin Ibu kok," balas Naren. Membalas senyum getir ibunya sebisa mungkin.

Ia menegok ke kanan kiri belum menemukan sosok kakaknya, biasanya jam segini ada saja muncul di rumah.

Kirana yang memunggunginya lantas angkat suara. "Si Erik udah lama nggak pulang-pulang itu. Ibu nggak tau lah dia ke mana." Ada nada kesal dari caranya berbicara.

"Kalau Nenek di mana?" tanya Naren. Tidak mungkin hanya ada ibu dan dirinya di rumah ini?

Sebab selama bertahun-tahun.
Nareina justru bingung harus dekat dengan siapa. Ia bahkan merasa kurang cocok menjalin komunikasi dengan keduanya, semenjak Kirana tiba-tiba memperkenalkan seorang pria sebagai, sosok ayah kandung yang lama hilang.

Diam-diam ia mengusap wajahnya sembari berusaha menyeka air mata di pipi. Selain kebahagiaan masa kecilnya direnggut, ternyata masa depan juga.

Persetan segala jenis masalah menimpa. Lebih stress memikirkan keluarga, terutama antara ayah atau ibu. "Naren, udah punya pacar?" Dagunya terangkat.

Catching FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang