Mereka bercanda? Mereka menyetujui pernikahan Mama dengan supir pribadi baruku, alias si om jelek itu! Ah sebenarnya sih dia nggak jelek juga. Tapi lihatlah, dia sangat menyebalkan.
"Tolong restukan kebahagiaan Om dan Mama, yaa?" bujuk halus wanita yang kerap kusebut nenek. Mewakili tatapan memohon dari kedua belak pihak bersangkutan. Tega kah aku memberontak?
"Aku cuma... Nggak mau punya adek dulu."
Iya juga. Lagipula, mengapa aku iyakan?! Aku nggak bisa tidur sama Mama lagi gara-gara mereka, kalau nggak bucin ya, berantem. Perlu kalian tau keseringan berantemnya mereka itu cuma memperdebatkan sifat usilku sih.
Setiap hari aku buat ulah biar om jelek marah dan Mama marah balik sama dia! Ya, itu hobi baruku sekarang.
Bruk! "Nar! Aishh, lo bisa seenaknya banget ya ngunci pintunya. Nggak tau suami lo lagi pengen?" Aku tak tau dan tak mau tau juga arah pembahasan mereka, pastinya hari ini aku pergi sekolah diantar olehnya lagi.
Sering kali aku melihatnya merengek di depan pintu Mama dengan wajah memerah. Serunya lagi aku pasti akan menjulurkan lidah untuk membakar emosinya! "Wleee! Kasihan deh lo!" BRAK! Banteng ngamuk.
Kalau sudah kelihatan tanda-tanda peperangan seperti tadi--om menggebrak meja tempatnya bersadar lalu mengejarku sampai ke luar ruangan.
Sebelumnya aku sengaja menumpahkan ember pel Bi Yasmin ke lantai. Sempat pula menyaksikannya terpeleset karena ulahku.
Walaupun aku tau ngerjain om jelek tuh seru! Tapi karena dimulainya dini hari banget aku sudah gencar mengacau suasana hatinya, mungkin ini keseruan terakhir.
Kuambil selang--biasa digunakan untuk mencuci kendaraan dan kusemprotkan ke mukanya. "Aaaa hahahaha!"
Huh. Puas sekali. Ya, aku tau Orang-orang tidak menyukaiku, sepertinya aku tau pula apa alasannya. Ini adalah jalanan menuju sekolah, aku dan om jelek jarang berbicara apalagi ngobrol. Namanya juga musuhan.
"Dah nyampe." Dia sudah pasti bicara padaku yang duduk santai di belakang. "Udah? Sana sekolah yang bener."
"Nggak mauu," kataku cemberut.
Om jelek, eh maksudnya om ganteng dikit, menghela napas lelah mengahadapi tingkahku yang tiada habisnya. "Ada yang ganggu kamu ya? Ngomong kalau ada, nanti Papa samperin," katanya seraya menyerahkan sesuatu kepadaku. Dari kelihatannya sih mirip kotak bekal. Boleh juga. Bisa perhatian juga dia.
"Emang kalau ngomong, buat apa?" tanyaku bingung.
"Buat Papa tonjok-tonjokin lah," jawabnya. Kedengaran agak gimana gitu.
Tapi jujur saja aku menahan tawa sekarang. "Ya udah ayo," tantangku, memastikan bukan sekedar kalimat penenang yang biasa diberikan Mama.
"E-eh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Feeling
Teen FictionSerangkaian kisah tentang Mahareza dan Megantara. Malapetaka berawal dari Naren, seorang mahasiswi sekaligus fotograper amatiran yang disewa oleh seorang wanita, mengambil foto dari selebriti yang namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan kare...