Masa kini.
"Mulai sekarang kamu harus mandiri ya?"
Nyatanya, mandiri tak semudah mengucapkan katanya.
Seharusnya sadar sejak awal jalannya hidup bisa dengan mudahnya menjungkirbalikkan harga dirinya, dari yang sangat bernilai tinggi hingga tak penting lagi. Harusnya paham bagaimana hidup bisa begitu mempermainkan, antara nasib baik dan sangat kejam.
Entah bagaimana tiba-tiba ingin mundur. Bahkan menghindari Arkan agar mereka menyudahi taruhan gila itu. Ya, ini jatuhnya taruhan bukan tantangan lagi. Sedangkan awalnya Nata memilih tantangan.
"Lo balik ke sini cuman buat kerja bengkel kayak gini?" Pertanyaan barusan terlontar di saat mahkluk yang diajak bicara berada persis di bawah kakinya.
Tidak, tepatnya. Ia sedang mengganti ban mobil dengan muka yang sudah tertebak bentuknya. Mendadak kulit putihnya makin eksotik keseringan di bawah sinar mentari.
"Gue cuma lulusan SMK, jurusan Teknik Otomatif. Lo mau gua jadi apa ha? Artis? Yutuber? Cepmek kamu nanyeak? Apa Rafathar? Atau cupang? Atau malah... bapaknya?" Ya benar. Nathala hanya pemuda lulusan SMK yang mau tak mau harus terjun dunia kerja.
"Hah. Maksud aing teh lain kadinya–"
"Pantes kalian nggak sukses-sukses. Kerjaannya ngobrol teross," kata Pak Roland sok paling smart.
Kenan mendecih tau sedang disindir nilai akhir semesternya lebih rendah dari teman-teman satu tongkrongan. Padahal biasanya mereka nyontek bareng tapi masih suka males.
Sobatnya pun heran, menggeleng kepala. Mau tak mau Nata harus berhadapan sinar matahari memandang dua mahkluk tersebut menggunakan muka memelas.
"Semangat! Kerja! Kerja!" heboh Pak Roland mengangkat tangan yang bulket. Berniat memberi semangat malah justru menambah beban anak buahnya.
"Heh, siapin Nata bonus ya Pak. Mau bayar utang," ucap Nata jujur ketika berdiri. Kenan cengong langsung mengejar.
Karena sudah pasti bocah itu mau jajan sendirian nggak mau ngajak-ngajak. Terbukti dia langsung membeli es dan jajanan pinggir jalan tanpa pilih-pilih.
"Kasian mana masih muda, udah keberatan beban utang aja," cibir Kenan. Nata menyipitkan mata tidak terima.
"Elu ya. Mending pijitin gua dah pegel bener timbang bacot mulu!" hardiknya. Kenan malah langsung menurut agaknya takut sebenarnya mengingat, Nata itu penyabar tapi sekalinya marah. Seisi bumi ia porak-porandakan.
"Utang apaan emang? Perasaan lo nggak kere-kere amat dah, masih banyak peninggalan bokap lu bisa dijual," katanya serius.
Nata terdiam terlanjur hanyut dalam ketenangan dalam batin. Ia mulai berpikir jauh tak seharusnya bekerja di tempat ini mengingat ayahnya beserta keluarga di kalangan begitu terpandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Feeling
Teen FictionSerangkaian kisah tentang Mahareza dan Megantara. Malapetaka berawal dari Naren, seorang mahasiswi sekaligus fotograper amatiran yang disewa oleh seorang wanita, mengambil foto dari selebriti yang namanya sedang hangat-hangatnya diperbincangkan kare...