Chapter Twenty Nine

6.6K 506 4
                                    

Semenjak hari itu, Anna tidak lagi membahas sesuatu yang hanya membuatnya sakit, begitu juga dengan perasaan Lucanne. Dengan kata lain, tanpa di sengaja ia mulai menorehkan luka, walau kecil bukan berarti tidak apa-apa.

Mengangkat kepala, Anna mulai mencatat materi di papan tulis. Jadwal pelajaran hari ini cukup untuk membuat sakit kepala. Mapel pertama Ekonomi, dilanjutkan Bahasa Inggris, Sejarah Indonesia dan ditutup Matematika. Semua guru mapel masuk dan full pembahasan materi yang membuat mata mengantuk.

"Gumoh lama-lama kita," bisik Rani. Tangannya sudah tidak sanggup mencatat. Kebas duluan.

Anna menganggukkan kepalanya setuju. Meski sudah tidak sanggup, tetap saja tangan memegang pulpen mencatat semua materi penjelasan. Mulai dari tulisan rapi hingga aksara dokter, Rani menyerah.

"Foto aja deh, ntar di salin."

Foto? Di salin? Anna mencium bau-bau omong kosong.

"Bohongnya transparan banget. Gak percaya aku," ucap Anna melempar tatapan curiga.

"Aku tulis, kok. Kalo inget hehe," ujar Rani sambil cengengesan.

Siswi di sampingnya hanya menghela napas dan kembali memfokuskan pada papan tulis di depan. Tidak hanya mereka berdua yang mengeluh, hampir seisi kelas, karena sudah cuacanya panas, pengap, hening, mengantuk, tidak bisa konsentrasi.

Saat bel berbunyi, sorak-sorai siswa-siswi tertahan karena guru yang menatap tajam.

"Materi ekonomi sampai sini dulu anak-anak, adakah yang ingin bertanya atau ditanyakan?"

Seluruhnya menggeleng, "Tidak Bu!"

Sang guru mengangguk samar. "Sudah paham semua ya, baiklah untuk pertemuan minggu depan, buatlah jurnal di buku besar."

Glek.

Sudah pusing, ditambah lagi. Mungkin sebentar lagi meledak.

"Ya Allah, Na. Gak kuat, pusing pol," keluh Rani dramatis memegangi kepalanya.

"Iyain aja, biar gurunya cepet keluar," bisik Anna.

Mereka hanya bisa mengangguk sambil, "baik bu."

Berhamburan keluar kelas menuju kantin, Anna masih sibuk menyusun buku ke laci. Rani merengek sejak tadi, perut keroncongan tiada henti minta di isi.

"Buruan, Na!"

"Iya, sabar. Kamu duluan aja, gapapa."

"Gak mau, ish cepetan!"

Malas mendengar rengekan Rani, Anna cepat-cepat memasukan buku ke dalam laci. Setelah itu, seperti biasa tangannya diapit erat oleh tangan Rani.

"Ini udah pada dangdutan di dalem," tunjuk Rani pada perut rata miliknya.

Kursi penuh, terpaksa mereka harus menunggu. Rata-rata di isi oleh anak kelas dua belas. Ya, diantara kelas lain, kelas merekalah paling lambat keluarnya.

"Hei, kalian udah selesai, kan?" tanya Rani tidak santai pada adik kelasnya yang sedang asik mengobrol.

"E-eh, iya udah kak." jawab mereka sedikit terkejut dan takut melihat wajah galak Rani yang siap menelan bulat-bulat.

LUCANNE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang