"Argh! Gak tau, ah! Bodoh amat!"
Hasrat menyobek buku menggebu dibarengi jemari lentik menarik ujung kertas. Namun, sebuah tangan menekannya untuk tidak merobek sedikitpun bagian dari buku tersebut.
"Bukan seperti ini caranya untuk meluapkan emosi. Menyobek buku yang tidak bersalah sama sekali," tegurnya menggeleng lemah.
Anna mendengus geli lalu menatap tajam tapi sayangnya terlihat menggemaskan di mata Lucanne. "Aku pusing! Gak bisa, nyerah pokoknya!" ucapnya menggebu-gebu dengan akhir kalimat mengendur.
"Kamu hanya lelah. Saya tau kamu tidak akan pernah menyerah," ungkap Lucanne berdiri di sebelah bangku belajar Anna. Ia terus memperhatikan buku-buku yang sudah acak-acakan.
"Aku capek," keluh Anna sembari memainkan pulpen.
Lucanne mengangguk. "Tidak apa-apa. Istirahat dulu sebentar."
"Aku capek belajar daring kayak gini, pinter enggak, bodoh iya. Kalo nilai aku turun gimana ulangan nanti?" ucap Anna begitu khawatir terhadap keadaan yang tidak kunjung membaik.
"Tidak akan pernah terjadi. Nilai kamu akan tetap aman. Ingat bukan, minggu depan kamu sudah bisa kembali belajar secara tatap muka," kata Lucanne sambil mengingatkan.
"Asing. Semua udah enggak kayak dulu."
Lucanne menghela napas, ini sudah hampir satu tahun terlewati menemani Anna belajar secara daring. Gadis itu kerap kali uring-uringan lantaran pelajaran yang sukar di pahami.
"Mereka udah beda, andai virus sialan ini gak ada," cicit Anna.
Sebuah kekehan ringan menimpali ucapan Anna. "Jangan di sesali, semua telah terjadi."
Anna menghentikan tangisannya lalu mendongak, "Aku bodoh, ya?" tanya Anna.
"Tidak. Kamu tidak bodoh, sekarang hanya sedang emosi saja," nasehat Lucanne berusaha untuk menjadi pria bijak di hadapan sang gadis pujaan.
"Bukunya jelek!" ejek Anna sambil mendorong-dorong buku yang sama sekali tidak bersalah.
"Kalo sedang emosi mudah sekali ya, memaki?" Lucanne melirik sekilas melihat wajah cemberut gadis itu.
Minggu depan awal masuk sekaligus ulangan akhir semester. Hanya tersisa satu tahun lagi ia akan lulus. Setiap ingin membahas kelulusan, hatinya seperti di tusuk jarum. Sakit.
Ketar-ketir sendiri membayangkan lembar kertas ujian. Apakah bisa mengerjakannya sendiri nanti tanpa bantuan Lucanne?
Selama ini sosok itu yang setia menjadi tutor gratis. Sabar, tidak gampang emosi menghadapi tingkahnya yang kadang seperti anak kecil.
"Tidak usah terlalu di pikirkan. Kasihan hati kamu. Sudah, sekarang kamu harus makan. Belum makan siang, kan?" Lucanne menangkup wajah Anna.
"Gak laper," jawab Anna menggeleng cepat.
"Gak laper? Yakin, Kok perutnya demo?"ledek Lucanne tidak sengaja mendengar suara cacing dari dalam perut.
"Ish! Rese banget, sih! Aku tuh males makan!" marahnya sambil menepuk pelan perut rampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUCANNE [TAMAT]
HorrorBukan manusia maupun tokoh fiksi. Dia nyata hanya beda dimensi. Kalau masih ragu sama keaslian ceritanya, jangan terlalu dipikirkan, yang penting menghibur.