Chapter Thirty Seven

6.7K 549 69
                                    

"Ayah bercanda, kan? Sumpah ini gak lucu!"

Ibu mengelus pundak Anna, "Dengarkan dulu sampai selesai, Nduk," tegur Ibu.

"Ayah dan Ibumu tidak bermaksud untuk memaksa, sekadar memberitahu saja. Semua keputusan ada di tangan kamu, nduk. Disini kami sebagai orang tua hanya mengarahkan, melihat dari perawakannya, kerja kerasnya, juga sangat menghormati orang tua, kami berpikir tidak ada salahnya mencoba untuk menjodohkan kamu dengan dia. Jika nduk enggak mau juga gapapa. Tidak ada yang marah apalagi memaksa," lanjut ayah membuat Anna bungkam.

Tadi seperti lebih emosi saja ketika dirinya hendak di jodohkan. Seharusnya tidak dengan nada tinggi bukan membantahnya? Ah, Anna merasa sangat bersalah.

"Maaf," cicit Anna sembari menunduk dalam.

"Jangan minta maaf, Nduk gak salah kok," Ayah mengulas senyum sembari mengelus pucuk kepala Anna.

"Gak seharusnya Anna jawab kayak gitu. Anna lepas kontrol. Maafin Anna, Ayah," kata Anna.

"Dimaafkan. Jadi, tolong pikirkan baik-baik dulu, jika memang sudah mantap. Bisa beritahu ayah dan ibu. Mengerti?"

Anna mengangguk takzim.

Setelah obrolan penting tadi selesai, Anna pamit untuk keluar. Katanya sih mau ke pantai, mereka tau bahwa itu hanyalah sebuah pelarian Anna saja. Mengingat bahwa dia sedang melewati masa-masa sulit dan belum sepenuhnya tercapai.

"Kita gak terlalu egois sama anak kita sendiri, Bu?" tanya ayah sembari memandangi kepergian Anna.

"Enggak ayah. Ibu cuma khawatir kalo anak kota diam-diam masih memikirkan sosok itu dan berbuat gila demi bisa menyatukan cinta." jelas ibu. Disini beliaulah paling merasa takut jika putrinya nanti suatu saat melakukan hal bodoh.

"Tapi, kita, kan orangtuanya. Sudah sepatutnya percaya kalo dia udah mulai mengikhlaskan."

"Ibu percaya, percaya banget sama anak kita. Cuma ngerasa takut aja, Ayah ngerti kan, perasaan Ibu?"

Ayah mengangguk dalam.

***

Sepanjang perjalanan air mata jatuh tanpa permisi, di balik helm ia menangis sesenggukan. Kenapa di saat ada yang memilikinya justru Anna menolak. Entah mengapa untuk membuka hati kembali dan menerima orang baru begitu sulit.

"Aku kangen kamu Lucanne," lirihnya.

Pantai sepi, mengingat hari masih siang. Hanya suara deburan ombak menghantam karang, juga semilir angin sepoi-sepoi menenangkan. Anna mengambil langkah lebar memijak pasir tanpa alas kaki.

Merentangkan kedua tangannya seraya menutup mata. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Sesak dalam rongga dada mulai hilang.

"Gak ada yang baru."

Lalu kakinya melangkah ke sebuah batuan besar di bawa pohon. Anna duduk di sana, dengan kaki dibiarkan basah terkena air pantai. Terdapat kepiting sedang berjalan. Ia memandangi tanpa minat untuk menyentuh. Takut kena capit.

"Kita bisa gak sih ngobrol bentar aja," monolog Anna. Diam-diam menunggu balasan Lucanne.

Nihil.

Suara merdu yang ia tunggu-tunggu tidak kunjung terdengar. Apakah Lucanne tidak berada bersamanya saat ini?

"Kamu ke mana? Kok gak ada?" Anna celingukan seolah-olah masih bisa melihat sosok Lucanne.

LUCANNE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang