1| Karena Kenangan

320 26 59
                                    

🌹

Karena kenangan memutar sebuah peristiwa
Memaksa hati menambah rasa kecewa
Meski hidup kadang ada tawa
Yang singgah pada raga,
walau tak pernah menyentuh jiwa

🥀🥀

Sebelum peristiwa itu, Caelum akan selalu menatap cermin dengan senyum bangga nan congkak. Rahang tegas idaman para model majalah western itu memberikan kesan maskulin. Hidung mancung dan mata coklat terang, memberikan sentuhan warga asing. Alis mata tebal dan bulu mata panjang, menambah pahatan sempurna pada wajah tampan itu. 

Setiap lirikan mata gadis-gadis labil, akan tertuju pada dirinya. Bahkan ibu-ibu berlomba untuk menjodohkan anak perempuan mereka. 

Satu nama akan selalu Cael ingat. Pria yang sudah merantai jiwa Caelum dalam ruang balas dendam. Pria itu sudah mengambil satu-satunya perempuan yang ia sayangi. Perempuan yang selalu ada, berbagi suka dan duka dengan dirinya.

Langkah dari heels terdengar sayup. Make up tebal menghiasi wajah awet muda itu. Lipstik merah gelap dipoles sempurna pada bibir ranumnya. Alis mata diukir sempurna, dengan eyeshadow coklat dan sedikit glitter emas di ujung kelopak mata almond itu.

Wanita berumur empat puluh tahun itu adalah ibunya, Amanda June Pradipta. Ia masuk  ke dalam  kamar pemuda dua puluh tahun itu. Ruangan yang bercahaya temaram.

Cael memang tidak suka menghidupkan lampu utama. Baginya, lampu di sudut kamar saja, sudah menjadi penerang yang membuat matanya perih.

"Cael..." panggil suara lembut. Pemuda itu berbalik, menatap ibunya yang melangkah pelan. Gaun hitam memeluk erat tubuh rampingnya. Tubuh itu semakin kurus. Seperti tubuh remaja usia tujuh belas tahun. Gaun gelap itu tanpa lengan, memperlihatkan bahu kurus ibunya.

Cael merasa sedih melihat keadaan wanita di hadapannya ini. Ia tahu, hampir setiap malam, ibunya mencoba berdamai dengan masa lalu yang terus menghantui. Rasa bersalah akan kepergian Clarice, kakak kembar Cael, terus membuatnya menelan pil tidur, agar Amanda bisa beristirahat.

"Kamu pakai jas yang ini saja ya?" Amanda menyodorkan Jas hitam dengan garis-garis berwarna emas. Cael mengambil jas itu, "I would wear whatever you give to me, Mom." Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya.

Tawa rendah Amanda terdengar, membuat lesung pipi di wajahnya timbul. "Oh, I wish... your father treat me this sweet as you do."

Senyum kecil pada wajah Cael perlahan memudar. "Impossible," ujarnya dingin. Tawa kecilnya terdengar getir. Setelah apa yang ibunya lakukan? Tidak akan ada pria yang bisa tahan dengan sifat Amanda! Cael mengerti kenapa ayahnya ingin pisah. Dan itu membuatnya merasa gelisah. Karena ia takut, hubungan yang sama akan terulang untuknya!

Amanda menundukkan wajahnya, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. "Yah. Tetap saja, Mama berharap pada hal yang tidak mungkin terjadi."

"Aku lelah Mah, jika harus mengulang percakapan yang sama. Mungkin Mama tidak akan pernah bisa melupakan pria itu! Ya, pasti saja!"

Dengan cepat, Amanda kembali mendongakkan wajahnya. Pipi yang telah dipoles blush on peach itu semakin merona karena amarah yang muncul tiba-tiba. "Kenapa kamu selalu saja nyalahin Mama seperti ini?"

Cael mengembuskan napas kesal. Ia mendelikkan bahu, "Mama seharusnya sadar di mana keselahan Mama. Tapi..." ia menggeleng pelan. "Mama tidak akan pernah sadar diri!" Cael kembali berbalik, mengepaskan jas itu dengan kasar.

Menyisir cepat rambutnya, Cael sekali lagi menatap mata hancur pada pantulan cermin buram. Cermin tubuh ini menggantung di closet yang penuh dengan baju-baju kembarannya.

Amanda menatap nanar pada punggung kaku anaknya. Setetes air mata berhasil lolos pada wajah tirus Amanda. Ia menyeka pipinya dengan cepat.

Cael kembali berbalik, menatap ibunya dengan perasaan bersalah. "I'm sorry, Mom." Cael hanya berusaha untuk adil pada kedua orang tuanya. Bagaimana pun, Amanda tetap salah. Dan perempuan keras kepala itu tak akan pernah menerima dirinya yang disalahkan!

Tiga puluh menit kemudian, Cael sudah mengendarai mobil sedan putih menuju rumah besar bergaya semi terbuka. Rumah megah ini akan menjadi saksi dari kehancuran gadis munafik itu.

Ia pikir, Sera adalah gadis berhati malaikat yang selalu menghiburnya saat ia terpuruk. Sebulan yang lalu, ia mengetahui fakta dari tragedi empat tahun silam. Rizky, pemuda delapan belas tahun yang pernah menjadi anggota geng Iqbal, dia memiliki rekaman yang menjadi bukti kelicikan gadis berwajah polos itu.

Tidak ada percakapan yang terjadi selama berkendara. Amanda masih mencoba fokus untuk menata kesadarannya. Ia tahu, anak laki-lakinya itu kecewa dengannya. Kegelapan dari cinta buta masih saja membuatnya memikirkan ayah Cael. Kenangan yang pria itu tinggalkan terlalu dalam untuk dilupakan.

Cael menoleh ke samping, menatap ibunya yang dari tadi hanya diam. "Mom, aku mau bilang sesuatu." Ia pikir, ibunya harus tahu rencananya malam ini. Cael tidak mau jika ibunya terkena gangguan serangan kecemasan, setelah ibunya mendengar apa yang ada pada rekaman itu. Rekaman yang diberikan Rizky seminggu yang lalu. 

Amanda menoleh, membalas tatapan Cael. Senyum kecil ia paksa tarik pada wajah yang terasa kaku. "Apa sayang?"

"Aku tidak mau tunangan dengan Sera."

Amanda mengernyitkan keningnya, "kenapa sayang? Apa yang terjadi antara..."

"Aku nggak terima aja, Mah," sela Cael. "Dia pernah tidur  sama Iqbal."

Amanda menarik napas tajam, "nggak mungkin! Sera tu cinta banget sama kamu."

Cael mengembuskan napas gusar, "kejadian ini udah lama. Waktu kami SMA, Mah." Alasan utama Cael tidak ingin bertunangan, bukan karena gadis itu sudah pernah tidur dengan Iqbal. Cael bukan pria yang naif. Dia juga tidak sesuci itu untuk menolak gadis yang tidak lagi perawan.

Alasan bahwa Sera ikut serta dalam penyekapan Clarice, menjadi hal yang tidak bisa ia terima. Ketika mengetahui fakta itu sebulan yang lalu, Cael tidak percaya. Hampir saja ia menonjok Rizky, karena ia menuduh pemuda itu berbohong.

"Sumpah, El. Gue nggak bohong. Gue emang nggak ada bukti. Tapi gue saksi di kejadian itu!" genggaman tangan Cael semakin erat pada kerah baju Rizky. "Kalau lu emang saksi pada kejadian empat tahun silam, gue ingin lu tunjukin kesaksian lu di pengadilan."

Rizky menarik napas tajam, "pengadilan? Lo gila apa? Kalau Iqbal tahu, gue bisa mati!"

"Lu juga bisa mati sekarang!" ancam Cael. "Setidaknya, kesaksian lu bisa meringankan hukuman..."

"Hukuman siapa El?" tanya Jevin. Pria jangkung berbadan kurus itu melangkah ke samping Cael. "Jangan bilang lo mau ringanin hukuman pria itu, karena dia bokap cewe lo?"

Cael menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan percakapan dengan Jevin. Pria jangkung itu memang benar. Ia meminta Rizky untuk menjadi saksi, agar bisa meringankan hukuman ayahnya Elra. Gadis yang baru ia ketahui, menjadi orang pertama yang membuatnya bangkit untuk mencari keadilan.

Amanda mengembuskan napas gusar, "tetap aja, sayang. Bagaimana bisnis kita..."

Cael mendengus kesal, "Mama pilih bisnis atau aku?" tanya Cael dengan cepat. Sudut matanya melirik Amanda, "kita bisa cari partner yang lain. Aku nggak mau terjebak dengan hubungan yang dari awal, aku sudah benci!" Cael membuka seat belt.

Untuk kedua kalinya pada malam ini, ia bertengkar dengan ibunya.

Sejujurnya, Cael merasa sedih saat emosi membuatnya membentak wanita itu.

🥀

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang