🌹
Tidak semua orang memahami
Arti dari melepasnya yang telah pergi
Karena nyatanya memori itu masih terpatri
Meski terkadang menyiksa sanubari🥀🥀
Jalanan tanah merah bata, selalu meninggalkan jejak duka. Bagi Cael, hanya ada mimpi buruk setelah gundukan tanah itu menyembunyikan Clarice dari dunia. Ia tak tahu apa salahnya, sehingga Tuhan tega mengambil satu-satunya orang yang ia cinta!
Teriakan dan tangisan bergema di dalam pikirannya yang kosong. Debar jantung itu masih berdetak tak karuan. Makian kembali terdengar, memberikan Cael kesadaran. Kali ini Cael merasakan genggaman erat di pundaknya yang sedari tadi menegang.
"Kamu!" maki Amanda dengan getaran dalam nada suaranya. "Kamu... kenapa nggak kamu yang mati! Kenapa Aris..." hanya ada kesedihan dalam suara yang kini serak oleh tangis. "Katanya kamu pergi sama Aris..." isak tangis itu kian larut. Semakin lama, semakin membuat hati Caelum bertambah kalut.
Cael tak bisa mengangkat wajah. Tubuhnya seolah tak bertenaga. Ia hanya melihat gundukan tanah merah. Dan mawar yang menjadi selimut duka.
Pilu itu menekan dada. Membuat wajah Cael dibanjiri dengan air mata. Sekarang hanya tersisa ruang untuk penyesalan. Dan kata 'maaf' hanya bisikan dalam lirih, yang tak mampu ia utarakan secara lisan.
Cael masih ingat... kalimat terakhir Clarice. "Lo hati-hati ya. Dan jangan lupa jaga kesehatan lo." Senyum itu menyentuh mata Clarice. Menularkan tarikan yang sama di bibir Cael.
Mengapa sekarang Cael merasa, kalimat itu seperti memberi tanda.
Clarice dinyatakan hilang selama tiga hari. Pencarian sudah dilakukan, namun tak ditemukan tanda-tanda keberadaan gadis itu. Saksi diperiksa, termasuk Iqbal! Bajingan itu mengaku sempat bertemu dengan gadis itu pada malam hari pertama, Clarice dinyatakan menghilang.
Yang membuat Cael curiga, setelah Iqbal memberi keterangan singkat di kantor polisi, ia malah pergi ke luar negri! Cael yakin, ada yang ditutupi oleh bajingan itu dari kejadian Clarice!
Clarice ditemukan tadi subuh. Tubuhnya sudah membeku, dengan lebam yang sudah membiru. Namun wajah itu terlihat teduh. Seolah ia berhasil lolos dari dunia yang hanya memberi sendu.
"Kamu seharusnya bisa jagain kakak kamu! Bukannya sibuk pacaran dengan gadis itu!"
Cael menatap ibunya dengan genangan air mata yang tak henti mengaburkan pandangannya. Orang-orang yang mengantar ke pemakaman kini telah berbalik, memberikan ruang bagi keluarga inti.
"Sudah... jangan kamu salahkan anak kamu! Dia yang paling tersakiti saat ini!" ujar Dean dengan aksen cadel. "Dia kehilangan orang yang selalu ada di sisinya..."
"Kamu tahu apa?" sela Amanda. Sorot matanya beralih pada pria bermata hazel. "Kamu nggak ada di sini!" geram Amanda. Rahangnya sudah mengencang. Bibirnya bergetar, pada setiap kata yang keluar dari bibir pucat itu.
Dean mengembuskan napas berat. Tangannya mengepal kencang, mencoba menahan emosi yang bersarang di dadanya. "Aku pikir kamu bisa bertanggung jawab... peduli sama anak kita! Kalau ada orang yang disalahkan, itu kamu!" balas Dean, tak kalah geram dengan Amanda. "Kenapa kamu nggak bisa menjaga anak-anak kamu!"
Amanda menggeleng cepat, ia mendecih pelan. "Kamu kenapa nyalahin aku? Kamu..."
"Kamu ingat sifat jelek kamu itu?" potong Dean. "Sadar apa yang dikatakan dokter tadi? Kalau kamu tidak racuni pikiran anak kamu..." Dean melirik Caelum yang sudah telungkup di atas makam Clarice. Hatinya pilu melihat itu. Satu anaknya telah tertimbun di sana, berharap Clarice menemukan kedamaian. Yang satu lagi, memeluk tanah, dengan tangisan yang mengoyak setiap asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴄᴀᴇʟᴜᴍ
Teen Fiction✨Series kedua dari ᴍᴇᴛᴀɴᴏꞮᴀ✨ Duka itu akan selalu ada, terpatri di dalam hati. Dari setiap cerita yang diulang, akan selalu menghantui. Tapi baginya, tidak ada kata sembuh. Karena terkadang, sakit itu kembali kambuh. Rekaman yang Cael temukan, menj...