🌹
Di kala keramaian menyesatkan jiwa
Kesunyian membuatku menyakiti raga
Dan kesendirian mendatangkan mereka yang menyiksa🥀🥀
Umur Caelum tujuh tahun, ketika awal dari rumah itu hancur dalam sekejap mata. Amanda masih berumur 24 tahun, masih terlalu muda untuk memahami pernikahan. Hubungan yang dimulai ketika ia berumur 18 tahun. Karena ia terpaksa menikah demi menyelamatkan bisnis ayahnya. Namun setidaknya, sudah cukup dewasa untuk bisa bijak menata kehidupannya.
Bukan perceraian yang mendatangkan trauma, namun pertengkaran yang menggoreskan luka dalam jiwa. Cael dan Clarice terpaksa pindah ke Belanda. Mengikuti ayah mereka, yang memang berstatus Warga Negara Asing.
Ketika umurnya lima belas tahun, Cael dan Clarice kembali ke Indonesia. Bukan karena keinginan mereka, namun karena ibunya didiagnosis terkena gangguan ADHD; Attention-deficit/hyperactivity disorder. Dalam kasus Amanda, wanita itu sering kehilangan fokus yang membuatnya sering mengalami kecelakaan.
Ibunya juga memiliki ketergantungan dengan alkohol. Setiap pagi, ketika ia berangkat ke sekolah, selalu saja ia melihat botol-botol kosong di sudut meja dapur. Tidak ada makanan dan minuman yang tersedia.
Tidak ada siapapun di sana.
Pagi harinya selalu diliputi dengan kesunyian dari rumah megah itu. Rumah yang tampak kokoh dari luar. Namun dari dalam, penghuninya telah merasa hancur.
Sekolah menjadi tempat pelarian dari masalah di rumah. Sebenarnya, tidak ada lagi pertengkaran yang menyiksa. Hanya kurangnya perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua. Ditambah, ibunya sering berulah.
"Lum..." panggil suara yang membawa kesadaran Cael kembali pada masa sekarang. Pemuda itu menoleh ke samping kanannya, menatap Clarice yang menyunggingkan senyum lebar. Senyum yang selalu menular. Berhasil menjadi penawar dari kekalutan jiwanya.
"Kita makan bubur ayam di depan komplek aja ya! Gue laper banget soalnya!" rengek gadis itu. Ia mengerutkan hidung dan bibirnya, membuat gadis itu tampak lucu.
Cael mengangguk kecil, lalu ia teringat sesuatu. Pemuda itu mendecih pelan, "biasanya lu cuman mau makan roti!" dengus Cael. Ia menaikkan tali ransel ke atas bahu bidangnya.
"Semalem gue lupa makan!" gadis itu merengut, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Cael menghela napas pendek, "kebiasaan lu! Makanya, kalau gue ajak makan ke..."
"Ah, udahlah!" potong kembarannya. Clarice menarik tangan Cael, memaksa pemuda itu untuk melangkahkan kaki, keluar dari dapur. "Yok buruan. Ntar kita telat!"
Cael terkekeh pelan. "Biasanya lu seneng kalau telat. Jadi nggak masuk kelas."
"Huh!" decak Clarice, ia melepaskan pegangan tangannya, lalu meletakkan kedua tangan itu di pinggang rampingnya. "Gini ya!" ujarnya kesal. "Caelum yang ganteng dari menara Eiffel... gue tuh..."
Cael tertawa mendengar kelakar Clarice. "Dari manapun, gue tetap ganteng!"
"Sssst!!" suara itu membuat keduanya terdiam.
Clarice melebarkan bola matanya, bahunya berubah tegang. Gadis itu menatap nyalang wanita yang sudah berdiri di ambang pintu dapur.
Rambut Amanda berantakan, lingkaran gelap di bawah matanya semakin terlihat. Kamisol tipis yang ia gunakan menutup hingga perempat paha kurusnya.
"I need a sleep! Cepet kalian pergi! Ribut aja!" usir Amanda dengan nada kesal.
Cael menghela napas berat, ia menatap ibunya dengan iba. "Tidur itu malam hari, bukan pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴄᴀᴇʟᴜᴍ
Teen Fiction✨Series kedua dari ᴍᴇᴛᴀɴᴏꞮᴀ✨ Duka itu akan selalu ada, terpatri di dalam hati. Dari setiap cerita yang diulang, akan selalu menghantui. Tapi baginya, tidak ada kata sembuh. Karena terkadang, sakit itu kembali kambuh. Rekaman yang Cael temukan, menj...