24| Telah Hilang

75 31 154
                                    

🌹

Semua harapan telah hilang
Juga jiwa dan raga ini lelah berjuang

🥀🥀

Getaran ponsel di atas meja menarik atensi ketiga remaja. Cael sedikit memajukan tubuh, melirik ke layar ponsel. Napasnya tertahan. Sorot matanya sedikit melebar, saat melihat dengan jelas nama yang terpampang di layar.

Redo menghela napas berat, sebelum sebelah tangannya menggapai ponsel. Ia menggenggam erat benda pipih itu. Sebelah tangannya menggaruk pelipis. Redo menimbang, apakah dia akan mengangkat telepon atau membiarkannya begitu saja. Karena jika Iqbal yang menelpon, pasti ada suatu hal yang ingin ia ketahui.

Elra melirik nama di layar. Seketika kedua matanya membulat lebar. Gadis itu mendengus kecil, sembari mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. "Ngapain dia nelpon lo?" tanya Elra cepat.

Redo menggelengkan kepalanya. Sebelah bahunya terangkat. "Nggak tahu sih gue." Kerutan di keningnya kian dalam seiring waktu berpikir. "Gue angkat dulu kali..." ia terdiam, sambil menggigit bibir bawahnya. "Udah mati."

Tepat saat Redo kembali meletakkan ponsel di atas meja, benda itu kembali berdering. Mata Redo kembali melebar. Napasnya juga tertahan. "Dia nelpon lagi," ujarnya pelan.

Caelum mengangkat dagunya sedikit, menunjuk pada ponsel. "Lu angkat aja." Senyum kecil tertarik di sudut bibirnya. Jika Om Alvaro sampai tahu lokasi rumah lama Cael, bukan tidak mungkin Iqbal juga melacak di mana keberadaan dirinya.

Redo mengangguk pelan, "kalian diam aja ya." Jari itu menggeser tombol angkat. Redo langsung menekan tombol pengeras suara. "Halo, Bal?" Redo terdengar menahan geram. Rahangnya ditarik kencang.

"Lu sama Cael?"

Elra mengangkat sebelah alis. Ia terkejut mendengar pertanyaan itu.

Udara terasa sempit untuk dihirup, saat kalimat itu berhasil dicerna seutuhnya oleh Cael. Satu hal yang pasti, dugaannya benar! Iqbal memang memata-matai pergerakannya. Ia menarik tubuh, menyandarkan bahu kekar itu ke sandaran kursi. Bunyi berderak terdengar, membuat ia reflek kembali mengangkat tubuh. Ia takut kursi ini akan rusak di bawah tekanan berat badannya.

Redo melirik Cael, sebelum ia kembali berucap, "Cael? Emang dia di mana?"

Tawa tercekat Iqbal terdengar, "jangan bohong, Do. Gue lihat mobil Cael di depan rumah lu!"
Redo melebarkan mata. Napasnya tertahan, mendengar kalimat itu.

Namun bukan Redo, jika ia tidak langsung mendapatkan alasan. Ia mendapat ide, saat melihat Elra yang terlihat tegang di samping Cael. "Huh," gumamnya. Tawa kecil lepas dari bibir Redo. "Gue sih, nggak herman kalau tu bocah kutub ke rumah. Emang lu lupa, dia jadian sama sepupu gue?"

Cael tersenyum kecil mendengar kalimat Redo.
"Jadian sama sepupu lu?"

Redo bergumam keras, "gue udah bilang ama lu, apa blom?"

Helaan napas kasar Iqbal terdengar dari seberang telepon. "Lu udah tanyain sama Cael, di mana dia ngumpetin Rizky?"

Redo kembali melirik Cael. Sorot matanya semakin terlihat tegang. "Ya... blom lah!" Redo menarik napas dalam sebelum kembali berujar, "Bentar gue tanyain dulu." Usai dengan kalimat barusan, Redo teringat sesuatu yang hendak ia tanyakan. "Lu kok tau di mana mobil Cael? Apa lu juga di depan rumah gue?"

Caelum menarik senyum kecil. Awalnya ia ragu dan sempat menduga, bahwa Redo mendekatinya dengan niatan untuk membalaskan dendam. Karena bagaimana pun, ayah Elra mendekam di penjara atas dakwaan kasus Clarice.

Dan pertanyaan itu juga membenarkan dugaan Cael sebelumnya, Iqbal memang benar memata-matai pergerakannya.

Beberapa hari ini, Cael memang sudah merasa ada yang mengawasinya. Namun berasumsi tanpa bukti, sama saja membodohi diri sendiri. Dan sekarang, ia tahu bahwa Om Alvaro mencurigai dirinya.

Redo mendengus kesal. "Dimatiin gitu aja!" Pemuda itu kembali melirik Cael. "Jelas dia di depan rumah gue. Gimana dia tahu coba?"

"Tadi Jevin kenapa nelpon?" tanya Elra mengalihkan topik pembicaraan. "Pakai buka lantai kayu segala? Ada yang datang mengg..." Elra terdiam saat melihat Cael tiba-tiba berdiri.

Pemuda itu menoleh ke samping kanannya, "gue pergi dulu ya."

Raut wajah Elra berubah cemberut. Tampak jelas bahwa gadis itu kecewa karena tidak mendapatkan jawaban.

Cael menghela napas tajam. Ia sejujurnya tak tega untuk mengabaikan Elra. Namun ia tak punya waktu untuk menjelaskan semuanya pada gadis itu. Belum lagi Lea yang ia sembunyikan di rumah lama! Om Alvaro juga tiba-tiba datang ke lokasi itu dan mengganggu keamanan mereka.

Namun jika Om Alvaro mencari Lea, berarti memang benar gadis itu mengetahui sesuatu!
"Maaf ya, Ra... aku..." Cael terdiam. Ia mengulurkan tangan, meletakkannya di atas bahu gadis itu.

Elra mengangguk pelan. Sorot mata itu jatuh, tak sanggup membalas tatapan Cael. "Nggak papa kok. Kalau itu privasi, aku..."

"Duh," dengus Redo. "Jangan melow-melow gini dah. Kek FTV aja kalian berdua!" Redo melangkah menuju pintu, lalu membukanya lebar-lebar. "Nanti gue bilang aja ke Iqbal kalau lu nggak mau jawab pertanyaan gue. Jadi dia pasti berasumsi kalau lu nyembunyiin Rizky."

Cael mengangguk pelan, "boleh."

Sebenarnya, Cael merasa geram sekarang ini. Ia masih kesal dengan Raka. Fakta bahwa pria detektif itu menemui Iqbal, mengusik perasaan Cael. Apa yang mereka bicarakan? Sejauh mana kerjasama mereka? Apa benar, Raka menjadi belati bermata dua? Menusuk Cael dari belakang, dengan berpura-pura menjadi teman.

Apa pun itu, Cael harus cepat ke rumah lama. Jevin memang temannya sekarang, namun dulu... pria itu pernah menjadi orang terdekat Iqbal. Bukannya Cael sepenuhnya curiga. Dari tatapan Jevin, Cael tahu pemuda itu bersungguh-sungguh untuk keluar dari lingkaran geng Iqbal.

"Gue di dalam rumah aja. Lu anterin Cael ke depan. Tapi kalian berdua jangan plonga-plongo. Lirik kiri kanan!"

Elra menarik napas tajam. "Emang kenap..." ia menggigit bibir bawah. "Ah, iya juga sih. Ntar Iqbal curiga sama lo," ujarnya sambil menggaruk pelipis.
Redo menjentikkan jarinya. "Tuh, lu paham!"
Cael mengangguk cepat. "Makasih ya, Do."
Senyum lebar terukir di wajah Redo. Ia mengacungkan jempolnya.

Perasaan tak enak dan bersalah menyiksa Cael. Bibir gadis yang berjalan di sampingnya memang menyunggingkan senyum. Namun kerutan kecil di keningnya, memberikan kesan bahwa Elra memikirkan sesuatu. Dan sesuatu itu jelas mengganggunya.

Di lain sisi, Cael tak bisa bercerita banyak.
Elra berhenti di samping pagar rumahnya yang terbuka. "Hati-hati ya," ujarnya pelan. Keduanya saling tatap.

Lagi-lagi, perasaan bersalah mengusik jiwa Cael. Entah mengapa, ia menjadi sensitif begini.

Sebelumnya, ia tak peduli jika seorang gadis menangis karena dirinya. Ia hanya menganggap bahwa perasaan cinta tak layak bagi dirinya yang hanya menginginkan balas dendam. Seolah perasaan dendam itu menjadi mimpi yang ingin ia raih di kemudian hari. Sudah jelas, ia tidak menghayal mendapatkan kasih sayang tulus seperti yang sekarang ini ia rasakan.

Tujuan hidupnya hanya satu. Yaitu agar kasus kematian Clarice diusut dengan bukti dan alasan yang sebenarnya! Bukan kasus di mana pelaku malah berlindung dan bebas, di balik skema yang mengkambinghitamkan orang lain.

🥀

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang