🌹
Kucoba 'tuk menghitung waktu
Meski hanya sedikit yang tersisa
Dan jawaban dari pertanyaan itu
Masih saja membuatku putus asa🥀🥀
Dua hari waktu bergulir. Leanora masih saja bungkam. Saat Cael menaikkan nada suara, air mata gadis itu mengalir. Dan hanya sebentar berani membalas tatapan dingin Caelum. "Kenapa lu nggak mau ngomong apa pun?" tanya Cael datar.
Jevin mendecih pelan. "Kita siksa aja dia," usul pria cungkring itu.
"Kalau lo nggak tega... biar gue aja!" balas Erik.
Dengan cepat, Caelum melirik kedua temannya yang duduk bersila di sisi kirinya. Di dekat jendela yang sekarang terbuka lebar. Mentari sore masih saja menyinari dunia. Sinar cerah itu berbanding dengan keadaan suram di dalam ruangan ini.
Caelum mengembuskan napas kasar, "gue nggak sama dengan bajingan itu." Sekali lagi, Cael menatap Lea. "Tapi gue punya cara gue sendiri." Cael berdiri, lalu duduk bersila di hadapan Lea. Jaraknya hanya satu langkah.
Wajah pucat gadis itu terlihat kusam. Cael mendengus, saat aroma masam berembus. Rambut coklat gadis itu yang biasanya rapi, kini terlihat kusut dan berminyak. Cekungan di bawah matanya juga terlihat gelap.
Caelum menarik napas dalam, "pasti lu tahu sesuatu, yang buat lu takut untuk buka suara. Gue tahu, Om Alvario kejam. Dan hanya praduga yang gue punya. Tapi..."
"Lo... nggak tahu apa-apa soal..." gadis itu terbata. Lea memberanikan diri membalas tatapan Cael.
"Diam!" maki Cael. Ia merasakan amarah yang tiba-tiba membuat dadanya sesak. Lea tidak berhak menyebut dirinya tak tahu apa-apa! Cael merasa tidak berguna menjadi saudara Clarice. Terkadang, Cael merasa putus asa. Saat semua bukti yang mengarah pada Iqbal hanya berujung 'asumsi'. Pengadilan tidak akan terima hal itu! Cael membutuhkan saksi kunci. Dan semua saksi menutupi kesalahan Iqbal!
Itu yang membuat Cael muak!
Saat udara terasa berat untuk dihirup, Cael tahu dia sudah diambang histeria. Jika Cael tidak mengontrol emosinya, gangguan tic* bisa menyerang. Dan ia tidak mau terlihat menyedihkan di depan semua orang!
Cael menggerak-gerakkan jari tangannya. Mencoba menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Jangan sok ngajarin gue. Lu nggak tahu apa yang gue tahu." Suara itu terkesan datar dan dingin. Cael tidak menatap Lea. Wajahnya ditundukkan, memperhatikan semut yang berjalan menuju remah roti.
Dua hari ini, Erik dan Jevin bergantian memberi gadis itu makan. Hanya sekali sehari. Satu lembar roti tawar dan mineral. Hanya untuk membuat gadis itu tetap terjaga. Saat Lea berpura-pura pingsan, Erik atau Jevin akan menyemprotkan air di wajahnya. Atau melempar kecoa di atas pangkuan gadis itu.
Lea tertawa pelan, "kalau lo tahu..." gadis itu menundukkan wajahnya. "Lo nggak bakal nyekap gue di sini!" Ia tak berani menatap wajah bengis Cael. Pria itu dalam sekejap terlihat kejam dan dingin. Ia pikir, Cael tidak akan tega menyiksanya. Rupanya Lea keliru.
Dua hari di ruangan pengap dan gelap. Dua hari dia hanya memakan roti tawar. Dan selama dua hari, Cael meninggalkan speaker yang memutar sebuah audio menyeramkan. Yang Lea tahu, instrumen piano yang terdengar suram membuat mentalnya terganggu! Bahkan terkadang, ia berhalusinasi. Melihat bayangan gelap di ujung sana. Dan tawa rendah yang serak, bergaung di telinganya.
Cael mendecih pelan. "Kasihan ya," ejeknya dengan tawa mencemooh. "Gue pikir, orang tua lu bakal cariin lu. Ternyata..." ia menoleh, menatap Jevin yang tersenyum miring di sudut. "Mereka malah pergi liburan. Dan menganggap lu cuman pergi healing tanpa ngasih mereka kabar."
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴄᴀᴇʟᴜᴍ
Teen Fiction✨Series kedua dari ᴍᴇᴛᴀɴᴏꞮᴀ✨ Duka itu akan selalu ada, terpatri di dalam hati. Dari setiap cerita yang diulang, akan selalu menghantui. Tapi baginya, tidak ada kata sembuh. Karena terkadang, sakit itu kembali kambuh. Rekaman yang Cael temukan, menj...