31| Yang Belum

58 14 72
                                    

🌹

Tidak ada kata sembuh
Karena terkadang, perih itu kembali kambuh
Pada beberapa kepingan memori, tergambar keluarga yang tak utuh

🥀🥀

Rasa kesal Caelum kembali memuncak ke ubun-ubun. Tanpa menunggu Amanda bersuara, ia sudah mematikan sambungan telepon. Seketika, jalanan yang tampak ramai di sekitar, seperti bergerak dalam mode pelan. Seolah realita menyeret setengah kesadarannya menuju ruang waktu masa lalu yang penuh beban.

"Mau gue aja yang gantian lu nyetir, bang?" usul Erik. Dia melihat raut wajah Caelum yang semakin tegang, sorot mata Cael semakin menajam, deru napasnya terdengar tajam dan pendek. Pemuda berambut poni ala Korea itu bisa menebak, komunikasi yang terjalin antara ibu dan anak sebentar ini, tidak berjalan bagus. Seperti yang sudah-sudah. Namun jika Erik berada di posisi Cael, ia juga tidak akan terima jika ada yang menyakiti, bahkan menghilangkan nyawa saudaranya!

Caelum mengambil minuman yang ia letakkan di saku mobil. Ia melirik Erik singkat, lalu kembali meletakkan gelas kopi itu ke tempatnya. "Nggak papa, gue aja. Udah nanggung juga."

Butuh dua puluh menit, hingga akhirnya Caelum sampai di tempat tujuan. Ia kemudian mengambil ponsel, hendak mencari kontak Mahesa. Tapi atensinya teralihkan. Ia mengernyitkan kening, melihat pesan yang sempat ia lihat dari bilah notifikasi, hanya saja belum dibalas. Pesan itu dikirim dua jam yang lalu.

| Oh, jadi tipe pacaran lo itu yang cuek gitu.
| Nggak papa sih, nggak ditanya-tanyain.

Cael mengacak rambutnya dengan gusar. Ia lupa bahwa Elra sudah menjadi pacarnya. Bahkan hubungan mereka belum sampai satu minggu. Fokusnya selalu saja teralihkan. Karena hal yang utama bagi Cael saat ini adalah perkembangan kasus Clarice.

Maaf ya... |
Nanti kita makan siang bareng, gimana? |
:) |
Kamu di gedung seminar, kan? |

Selesai membalas pesan Elra, Cael menekan kontak Mahesa. Berharap pria berumur dua puluh sembilan tahun itu memiliki waktu luang untuk berbicara. Deringan di seberang telepon terdengar. Tepat saat Cael mengangkat pandangan, ia melihat mobil hitam melintas, lalu parkir di sebelah mobilnya.

Caelum hanya menduga, bahwa mobil di sebelahnya merupakan mobil si Jaksa muda. Dengan gerakan cepat, Cael menarik seatbelt yang masih terpasang. Sambil mematikan sambungan, ia melangkah keluar dari mobil.

Mungkin takdir hanya sedang berbaik hati, sehingga tidak butuh waktu lama bagi Caelum untuk bertatap muka dengan Mahesa. "Siang Pak," sapa Cael, saat Mahesa baru menutup pintu mobilnya.

Mahesa sedikit menarik diri, tampak terkejut dengan kedatangan Cael yang tiba-tiba. Sedikit senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. "Siang," balas Mahesa. Ia menaikkan dekapan map hitam ke dadanya.

Cael mengulurkan tangan, "saya Caelum. Masih..."

Mahesa mengangguk singkat, "iya. Saya masih ingat," potongnya cepat. Mahesa memindahkan map hitam yang tampak berat itu ke tangan kirinya, lalu membalas jabatan tangan Cael.

"Maaf saya mengganggu waktu Bapak. Ada yang ingin saya tanyakan terkait...." Sedikit senyum yang tersungging di bibir Mahesa membuat Cael menghentikan kalimatnya. Ia menarik napas dalam, mengatur kalimat yang hendak diutarakan ulang. "Ada yang ingin saya tanyakan, apakah Bapak punya waktu luang?"

Mahesa menggaruk pelipis. Ia melirik jam di pergelangan tangan, sebelum kembali membalas tatapan penasaran Cael. "Saya harus memproses laporan. Saat makan siang, saya masih sibuk mengurus hal lainnya. Jika ini tentang perkara teman anda, sepertinya kasus itu sudah selesai."

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang