34| Sekedar Terucap

38 11 63
                                    

🌹

Inginku, janji itu bukan sekedar terucap
Namun apalah daya, karena nyatanya aku masih terperangkap
Oleh kata-kata yang merantai diri ini dalam gelap

🥀🥀

⚠️ Self-Harm!

Piring dan gelas yang pecah bukan pemandangan baru di dapur rumah Caelum. Bau alkohol yang selalu membuatnya merasa sesak, masih tercium pekat di udara. Ia menarik napas dalam, menenangkan pikiran agar bisa mengendalikan emosi. Setidaknya sekarang, ia sudah terbiasa menghadapi kelakuan ibunya, dibandingkan saat dulu ia masih sekolah.

Bi Gis yang sedang menyapu pecahan gelas menatap Cael dengan sorot iba. Bibirnya sedikit bergetar sebelum berucap, "Mas Kel mau ambil minum ke dapur, ya?" tanya Bi Gis dengan senyum yang dipaksakan. Tangan gempalnya menggenggam erat tangkai sapu.

Caelum menggeleng dengan cepat. "Nggak Bi." Pemuda itu melirik lorong menuju kamar ibunya. "Mama di kamar?" Bi Gis hanya mengangguk kecil, sebagai jawaban dari pertanyaan itu. Caelum mengayunkan kaki, lalu berhenti setelah dua langkah. Ia menoleh ke samping, menatap Bi Gis dengan kening berkerut.

Pecahan kaca di lantai tidak hanya dari botol, namun juga dari keramik. Serokan sampah juga terlihat penuh dengan pecahan yang sama. "Mama ngamuk lagi ya Bi?" Pertanyaan itu terlontar karena Cael sudah tau kelakuan buruk Amanda. Setiap kali wanita itu marah, ia akan membanting barang pecah belah. Mungkin ini saatnya, Cael membeli peralatan dari melamin.

Bi Gis menelan saliva dengan kasar. Bibirnya tertarik tipis, di saat matanya semakin menyipit untuk membalas tatapan Cael. "Tadi Bibi pas pulang sebentar Mas, si adek soalnya lagi demam. Tadi udah izin sama ibuk... kembalinya ke sini agak sorean. Tadi sih, ibuk baik-baik aja ditinggalin. Mood-nya juga kelihatan happy gitu. Eh, tau-taunya pas sampai di dapur..." Bi Gis mengedarkan telapak tangannya, menunjuk lantai dapur. "Udah banyak aja yang berserakan. Bi Gis mana berani nanya ke ibuk," imbuhnya dengan nada takut.  

Caelum melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul 17.13. Sudah tujuh menit ia meninggalkan Elra di mobil. Biasanya, tak lebih dari lima menit waktu yang ia habiskan untuk berdebat dengan ibunya. Entah hasil akhirnya akan membuat Caelum sedikit lega, atau justru menambah rasa kesal dan amarah yang masih berkecamuk di relung dada.

Percakapan pemuda itu dengan Nessa di kampus masih membuatnya memendam kekesalan pada Amanda. Harga diri Caelum seolah sudah hilang. Bahkan ia tak memikirkan rasa malu di hadapan Nessa, karena ulah ibunya yang jelas mementingkan harta. Ibunya mungkin tahu, ke pada siapa ia akan menjual anaknya!

Caelum mengetuk pintu, menunggu beberapa detik untuk mendengar sahutan dari dalam. Jika ibunya menyahut, berarti akan ada pertengkaran sengit yang tak bisa ia hindari. Meski ia sedikit berharap, ibunya itu sedang tidur. Jadi tidak ada alasan untuk membuang waktunya secara percuma... hanya karena perdebatan yang memusingkan kepala.

Tak lama, kenop pintu diputar. Cael melangkah mundur, sambil menarik napas panjang. Bersiap-siap untuk menyerang dengan kata-kata terlebih dahulu, sebelum Amanda mengutarakan isi hatinya. "Mama ngapain nelpon Nessa?" mulainya dengan nada datar. Ia tak ingin langsung menaikkan nada suara. Selain marah-marah hanya akan mengundang kericuhan, percakapan di saat sedang emosi tidak akan mendatangkan solusi.

Sorot mata Amanda melebar, ia menaikkan dagunya sedikit, lalu memutuskan kontak mata. Amanda menyilangkan tangan di dada, rahangnya ditarik tegas. Bibirnya tampak merengut. Ah, jelas ibunya sedang mode cemberut. 

"Jawab aku, Mah!"

Napas yang ditarik wanita tiga puluh delapan tahun itu terdengar tajam. Wajahnya kembali berpaling, menatap Caelum dengan sorot tegang.

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang