39| Rasa Perih

24 10 55
                                    

🌹

Luka hati itu tak akan sembuh
Karena waktu hanya bisa membasuh rasa perih yang kambuh

🥀🥀

Erik membuka kresek putih. Lalu mengeluarkan makanan ringan yang dibelinya dari minimarket di atas meja persegi. Jari panjangnya mengambil bungkus berwarna hijau, membuka kemasan potato chip yang dibumbui rasa rumput laut. "Jadi si Leak ke sini buat meras lo doang bang?" tanya Erik sambil mengunyah makanan di mulut. Ia merasa kesal setelah mendengar penuturan Cael mengenai tujuan Lea datang ke rumah ini.

"Tumben lu mau belanja?" balas Caelum balik bertanya. Ia menarik tubuhnya, menggapai bungkus malkist abon yang terletak di atas tumpukan mie instan. Sudut bibirnya membentuk senyum tanggung saat melihat lotion nyamuk berwarna merah jambu terselip di antaranya. Memang pada malam hari, lotion itu sangat dibutuhkan untuk menangkal serangan serangga penghisap darah.

"Daripada ntar gue laper tengah malam, mending gue beli kebutuhan buat nemenin begadang," Erik mendengus kesal. "Tadi juga gue hampir lupa singgah ke minimarket. Kalau bukan gara-gara ibu-ibu yang hampir gue tabrak saat keluar parkir." Ia mendecih pelan, menatap Cael dengan sorot malas. "Abisnya lo tau sendiri, pemilik tahta tertinggi di jalanan itu kan emak-emak! Mereka suka belok tanpa lihat kiri kanan. Lagian tuh ibuk-ibuk mau gue teriakin juga, dia bukan ayam...."

Gerakan tangan Cael terhenti, tepat saat malkist sudah berada di depan mulutnya. Ia mendengus kecil, menarik senyum kecut setelah mendengar lelucon hambar Erik. "Lu pikir makanan Jepang apa!"

Erik tertawa, menampilkan deretan gigi putih hasil scaling yang ia lakukan kemarin sore. "Lagian gue juga takut dosa! Bukannya nanti beliau minta maaf, yang ada ntar gue yang dapat ceramah."

Caelum hanya mengangguk-anggukan kepala. Tawa kecilnya tak terdengar sama sekali oleh Erik yang mengunyah keripik kentang semulut penuh.

"Jadi lu mau tidur di sini. Emang berani sendirian?" Nada suara Cael terdengar mengejek. Bukan apa-apa... jika ditanya berani sendiri di sini, ada kalanya Cael merasa lengang di malam hari. Terlebih di ruangan atap, tempat Lea disekap beberapa hari yang lalu.

Cael menatap loteng, plafon putih itu bisa dikatakan kusam. Beberapa lingkaran coklat tak beraturan membentuk motif abstrak, mahakarya dari air seni tikus yang berkeliaran di atas sana. Memang, bangunan ini sudah tua, lebih tua dari Opa Caelum yang telah meninggal di usia 75 tahun.

Erik menghentikan gerakan mengunyah, sebelah tangan yang berisikan keripik kentang terhenti di udara. "Iya juga ya! Gue lupa lagi Bang Jevin nggak bakal ke sini!" dengusnya kesal. "Lo bakal pulang? Atau mau...."

"Lu bertengkar lagi ama nyokap?" tanya Cael menebak. Karena itu alasan yang biasanya pemuda berambut ikal itu katakan pada Cael. Alasan ia tak mau pulang, dan memilih untuk tidur di rumah ini.

Erik menggeleng cepat. "Enggak juga sih. Lagi males aja di rumah. Bokap gue tumbenan pulang. Mereka ribut mulu. Cape gue dengernya." Erik mengembuskan napas gusar. Ia menjilati sisa bumbu di jari-jarinya, lalu menggulung bungkus keripik.

Caelum tahu betapa lelahnya berada di posisi itu. Mendengar setiap pertengkaran dari tempat yang ia sebut rumah. Namun nyatanya, rumah yang seharusnya menjadi naungan, tak memberikan perlindungan. Setiap pertengkaran yang terjadi, menambah luka di hati untuk tumbuh semakin liar. Membuat jiwanya tak terurus, merasa terbengkalai oleh kasih sayang.

"Jadi rencana lo apa, bang?"

Pertanyaan Erik membuat Cael menarik napas tajam. Jika pemuda itu tidak bersuara, bisa saja duka lama kembali menganga. Menariknya dalam pusaran keputusasaan dari kenangan dengan keluarganya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang