8| Di Kala Malam

36 8 34
                                    

🌹

Di kala malam semakin larut
Suara-suara itu kembali membuatnya takut
Selalu membuat semangat hidupnya surut
Karena tak bisa menyembunyikan hatinya yang kalut

🥀🥀

Dentingan jam dinding terdengar nyaring, di saat pikiran Cael kembali bergelut dengan masa lalu. Temaram lampu kamarnya semakin menambah sendu, yang membuat dadanya berdenyut pilu. Pikiran itu siap menenggelamkan jiwanya dalam lautan rindu.

Seringkali Cael ingin menyangkal keadaan, saat bayangan Clarice yang terbujur kaku, kembali menghantui malam panjangnya. Membuat rasa bersalah kembali bergelung di dadanya. Pikiran untuk pergi bersama kembarannya itu sering kali terlintas.

Namun ia tak bisa! Belum saatnya ia pergi meninggalkan dunia yang rendah ini.

Karena satu hal...

Dendam atas kematian Clarice!

Lorong rumah sakit terasa dingin dan sepi. Penantian Cael terasa panjang, karena kekhawatiran menyiksa batin itu. Di setiap detiknya, ia merasakan debar jantung yang bergemuruh. 

Lampu operasi akhirnya berkedip pelan. Cael melebarkan matanya, sudah satu jam lebih ia menunggu lampu itu untuk padam. Lututnya terasa goyah, saat ia memaksa untuk berdiri. Ia menekukkan jari-jarinya, menunggu dokter keluar dengan rasa cemas.

Ia sudah mencoba menelpon ibunya sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Namun wanita maniak alkohol itu tidak mengangkat sambungan telepon Cael. Malam-malam seperti ini, pasti ibunya sedang bersenang-senang dengan pria yang tidak ia kenal.

Detak jantung Caelum semakin berdegup kencang, ketika dokter akhirnya keluar dari ruangan itu. "Gimana... keadaan kakak saya dokter?" ujar Cael terbata.

Raut lelah tampak di wajah pria berumur lima puluh tahunan itu. Ia menatap Cael sejenak, lalu melirik ke lorong sepi rumah sakit. "Di mana orang tuamu?"

Cael menggenggam erat ujung t-shirt yang ia kenakan, lalu menutup matanya sebentar. Mencoba meleburkan air mata yang menggenang tiba-tiba. "Ayah saya di luar negeri," ujar Cael pelan. Ia terlalu marah dan sedih, untuk mengucapkan kata 'ibu'. Caelum kembali mengangkat wajah, membalas tatapan simpati dokter di hadapannya.

Dokter itu menarik napas dalam, ia mengangkat sebelah tangannya, menepuk pelan pundak Cael.

Sekujur tubuhnya terasa lemas, rasa tercekat di tenggorokan membuatnya kesulitan bernapas. "Bagaimana keadaan..." kalimat Cael terhenti. Ia menggeleng pelan, mencoba menghapuskan asumsi negatif. "Kakak saya baik-baik saja kan Dokter?" nada cemas dalam suaranya terdengar.

Bisik-bisik perawat di belakang dokter membuat kening Cael mengernyit dalam.

Kenapa tidak ada jawaban!!

Kenapa dokter hanya diam! Kenapa ekspresi wajah mereka terlihat sedih!

Clarice pasti baik-baik saja! Dia gadis periang yang punya semangat hidup tinggi! Ia tidak pesimis seperti Cael. Clarice bilang, dia ingin menjadi designer. Dia tidak akan mati sebelum ia bisa mewujudkan mimpinya... menginjakkan kakinya di New York Fashion Week!

Setidaknya, itu hal-hal yang Cael ingat, pernah Clarice lontarkan dengan percaya diri!

"Gimana keadaan kembaran saya Dokter..." Cael tercekat. Air mata itu jatuh ke pipi. Wajahnya sudah memanas oleh emosi yang bersarang di dadanya. Rasa pilu itu kembali menyiksa, membuat tubuhnya lemas tak bertenaga.

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang