✨Series kedua dari ᴍᴇᴛᴀɴᴏꞮᴀ✨
Duka itu akan selalu ada, terpatri di dalam hati. Dari setiap cerita yang diulang, akan selalu menghantui. Tapi baginya, tidak ada kata sembuh. Karena terkadang, sakit itu kembali kambuh.
Rekaman yang Cael temukan, menj...
Apa dunia begitu kejam? Mengoyak segala asa Membiarkanku tenggelam Dalam duka dan air mata
🥀🥀
Senyum lebar dari pria penjaga toko menyambut kedatangan Caelum. Pria paruh baya itu menggenggam botol spray yang panjangnya sejengkal. Dengan langkah cepat, pria itu menghampiri Cael yang berdiri mematung di depan meja kasir.
Pemuda itu mengernyitkan kening, menatap bunga yang dipajang sederet dengan meja. Ada empat tingkat, di mana Cael sempat melirik sekilas berbagai macam bunga hias. Ia mengambil bunga Peony tiga tangkai, lalu meletakkannya di atas meja.
"Pilihan yang bagus. Peony, lambang dari cinta, kecantikan, kasih sayang dan keberuntungan," ujar pria itu riang. Dengan cepat, jarinya menggenggam tangkai bunga kecil yang terletak pada rak paling atas. "Lebih manis jika diselipkan dengan baby's breath!"
Senyum kecil tertarik di sudut bibir Caelum, "berapa Pak?"
"Tiga ratus ribu," ucap pria itu riang. Jari-jari terlatihnya sibuk mengikat bunga, lalu mengambil kertas untuk melengkapi tampilan bouquet. "Mau menuliskan sesuatu?" tanyanya sambil melirik Cael sekilas.
Caelum terdiam. Benaknya sibuk memikirkan kemungkinan dari reaksi Sera saat ia memberi bunga itu. Apa gadis itu bahagia? Atau malah melempar bunga itu ke wajahnya?
Opsi yang terakhir terkesan dramatis. Meski alasan Sera marah pada pemuda itu dapat dibenarkan.
Caelum menggelengkan kepala, "nggak usah Pak."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Pinterest)
Bunga itu terlihat manis. Di benak Cael, ada satu wajah yang terlukis di sana. Dan senyum gadis itu mampu membuat Cael menarik senyum di bibirnya sendiri.
Cael tak pernah menyangka, khayalannya tentang Elra di kepala, mampu mengalihkan fokusnya.
Perjalanan Caelum kembali ke rumah sakit, lebih terasa singkat dibandingkan saat ia pergi ke toko bunga. Ketika sudah sampai di lobi, Caelum melirik ke sekelilingnya. Pemuda itu tidak menemukan keberadaan sang ibu.
Saat ia hendak menekan ikon telepon, bunyi heels yang mengetuk lantai, membuat Cael menoleh dari balik bahu. "Baru aku mau telepon Mom," ujarnya sambil kembali menyelipkan ponsel ke dalam saku celana.
Senyum lebar Amanda tertarik, saat kedua mata yang dipoles sempurna dengan eyeshadow emas itu membulat lebar. Jari-jari lentiknya menyentuh kelopak bunga. "Sweet banget," Amanda lalu mengarahkan jarinya pada wajah Caelum. Membelai dengan lembut wajah anaknya. "Ini baru anak Mama."
Caelum mengernyitkan kening, melihat tingkah ibunya. Jika diperhatikan lamat-lamat, seringaian di wajah Amanda sedikit berlebihan.