33| Apabila Janji

31 12 63
                                    

🌹

Aku tidak ingin berujar demikian
Namun apa yang terucap adalah bentuk kekesalan
Agar dia memahami, bahwa kehadirannya adalah beban
Yang sedari dulu aku tahan untuk disingkirkan

🥀🥀

Awan yang berarak menambah estetika langit biru yang cerah. Suasana hangat dan sejuk membelai kulit Caelum saat berjalan di koridor. Tujuannya masih sekitar tiga puluh meter lagi. Kedua netranya terdistraksi pada jalanan di area kampus. Pohon-pohon peneduh mulai meranggas, beberapa daunnya berguguran, menyelimuti jalanan yang sedikit basah karena hujan yang turun mendadak tadi siang.

Jalanan kampus mulai sibuk, dilalui oleh mahasiswa yang selesai dengan sesi kelas untuk sore ini. Beberapa mahasiswa berjalan bersama, membentuk kelompok kecil yang memenuhi koridor. Beberapa juga berjalan sendiri dengan langkah cepat, seperti Caelum. Namun langkah cepatnya dibayangi oleh decitan sepatu sport dari arah belakang. "Cael, tunggu..." panggil Nessa. "Dengerin dulu penjelasan gue!"

Delapan meter lagi, Caelum akan berbelok ke arah kanan, menuju bagian depan dari gedung kuliah. Dan pastinya, Elra menunggu di salah satu gazebo. Ia tidak ingin membuang waktu dengan pertengkaran remeh. Akan tetapi, jika ia tidak menghentikan Nessa, gadis itu akan membuat keributan saat melihat Elra.

"Apa sih yang mau dijelasin?" Cael berhenti. Ia tidak perlu repot menoleh ke belakang, karena Nessa melangkah cepat. Ia sudah berdiri di samping Cael. Tubuh gadis itu berjarak sejengkal, dengan wajahnya sedikit terangkat untuk menatap Cael.

Pipi Nessa sedikit memerah. Napasnya tersengal, setelah mengejar langkah Cael yang lebar. Sesuatu dalam sorot matanya, menyiratkan emosi yang selama ini tidak pernah Caelum sangka ada di diri gadis itu. Tatapan yang memancarkan simpati.

"Aku emang nggak datang ke pesta ulang tahun Sera. Tapi aku tahu apa yang terjadi di sana!" Nessa kembali menyangkutkan helaian pirang beregelombang ke belakang telinganya. "Sherin ceritain semuanya ke aku. Dan yang bikin Sherin speechless adalah, reaksi kamu yang biasa aja. Kamu nggak marah, kamu nggak juga merasa malu karena nyatanya calon tunangan kamu...."

Caelum mengangkat tangannya, meminta Nessa untuk diam. Kalau Cael tidak salah ingat, Sherin adalah sepupu Nessa yang satu jurusan dengan Sera. Masuk akal jika gadis itu ada di sana untuk menghadiri pesta ulang tahun Sera.

"Gue nggak ada waktu untuk julid," ujarnya seraya memutus kontak mata dari Nessa. "Dan apa pun masalah gue... nggak ada hubungannya dengan diri lu!" Ia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri agar tidak meninggikan nada suara. Cael tidak ingin menarik atensi mahasiswa yang kebetulan sedang lewat, pun mereka yang baru keluar dari kelas. "Jadi stop masuk dalam kehidupan gue, karena gue nggak ingin menambah deretan perempuan menyebalkan, yang eksistensinya cuman jadi beban!"

Nada dingin dalam suara Caelum membekukan hati Nessa. Kedua netranya mengikuti gerakan si pemuda yang melanjutkan langkah lebarnya dengan tergesa-gesa. Hingga akhirnya, bahu lebar itu menghilang di balik tikungan koridor. Bibir Nessa masih terbuka, seolah pikirannya menolak percaya dengan apa yang ia dengar dari pria itu. Ia tahu, Caelum tipikal cowok cool yang  tidak akan main-main dengan ucapannya. Jika ia berkata tidak, sampai kapan pun, akan sulit untuk mengubah pikiran pria itu.

"Kenapa sih, udah jadi mantan tetap aja posesif?" suara lembut itu terdengar tajam. Nessa menoleh dari balik bahu. Ia mendengus saat tatapannya beradu dengan Aurelia.

Tadi, Aurelia yang hendak keluar dari toilet, sengaja menghentikan langkahnya setelah sekilas melihat Nessa berlari. Ternyata, waktu yang ia habiskan untuk menguping tidak terbuang percuma setelah mendengar percakapan gadis itu dengan Caelum.

Nessa yang ditanya mengembuskan napas gusar. Ia mengubah ekspresi wanita tersakiti, dengan ringisan tak menyenangkan, saat ia membalikkan tubuh menghadap Aurelia. "Bukan urusan lo!" ujarnya sedikit meninggi.

Seketika, pikiran Nessa dipenuhi dengan spekulasi. Ia sangat jarang berinteraksi dengan seniornya itu, dan sekarang, tiba-tiba Aurelia membuka topik pembicaraan. Sangat mungkin, jika Aurelia juga menyimpan rasa pada Cael. "Lagian, usaha lo buat dekat dengan Cael juga nggak akan membuahkan hasil. Karena apa?" Tawa mengejek keluar dari bibir Nessa. "Karena dia nggak bakal jadi milik lo!"

Aurelia mendengus. Rasa kesal dan amarah yang sudah membayanginya semenjak tadi, kembali menguar di relung dada. Tidak terima direndahkan, Aurelia ikut menggemakan tawa mengejek. "Terus lo pikir, lo bisa? Lo udah jadi mantan! Dan lo nggak dengar apa kata-kata Cael tadi?" Aurelia mendekat, memicingkan matanya untuk fokus membalas tatapan jengkel Nessa. "Lo tu cuman beban, jadi stop jadi cewek menyebalkan!"

Napas Nessa tertahan. Rasanya, dunia berotasi amat pelan. Jika tadi hatinya terasa pilu saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut sang pemuda yang dicintai, perkataan yang sama dari Aurelia membuat wajahnya memanas dengan amarah. Tapi sebelum emosi menguasai diri, Nessa memalingkan wajah. Ia mengembuskan napas tajam, mencoba meluruhkan rasa kesal yang berkecamuk di pikirannya.

Balas mengejek dengan suara bentakan hanya akan membuatnya menjadi pusat perhatian. Dan itu tidak baik untuk dirinya yang mulai membangun image positif.

"Lo harus tahu satu hal..." Nessa kembali berpaling, membalas tatapan mencemooh Aurelia. "Modal cantik aja nggak bakal bisa merebut hatinya Cael! Selain itu, keluarga lo juga nggak bisa menawarkan kerjasama bisnis seperti yang Papa gue bisa. Jadi daripada hati lo semakin tersiksa karena perasaan yang tak terbalas, mending lo mundur dari sekarang." Senyum mengejek tertarik di sudut bibirnya. "Move on!"

***

Percakapan Caelum dengan Nessa masih berputar di kepalanya. Ia hanya mengingat poin penting, di mana Nessa menawarkan investasi untuk perusahaan Pradipta. Andai saja ia tidak terseret dalam arus balas dendam, juga pikiran dan hatinya masih tertutup untuk gadis lain, ia akan mengambil tawaran Nessa.

Namun sekarang, gadis yang mulai meninggalkan jejak di hati Caelum, tengah melambaikan tangan ke arahnya. Senyum manis menyentuh mata almond itu. Jarak terkikis, seiring langkah yang ia ambil untuk menyusuri jalanan setapak menuju gazebo.

Senyum yang terulas lebar, seketika berubah datar. "Nggak rapat lagi?" pertanyaan itu diiringi dengan rengutan di sudut bibir Elra.

"Ngapain rapat terus? Kek banyak aja yang mau diurus."

"Lah, bukannya kemah seminggu lagi."

"Iya. Tapi kan yang lain bisa urus. Ketua itu penanggung jawab kerja, sedangkan divisi bawahannya yang bakalan menanggung tugas kerja."

Elra memutar bola mata, seraya mengembuskan napas tajam. "Hmm, bukannya ketua yang paling sibuk?"

Caelum menggeleng pelan. "Ketua itu sibuk mikirin, sibuk nyuruh-nyuruh. Kalau ada yang nggak beres, ketua harus cari solusi agar masalahnya cepat teratasi. Yang menjalankan ya bawahannya."

Elra mengeluarkan tawa tercekat. "Suka-suka deh," ujarnya menyerah. "Kamu mau pulang? Atau ada yang mau kamu urus?" Ia melihat wajah tampan itu sedikit lebih lama. Bukan untuk mengagumi ciptaan Tuhan, namun untuk membaca pesan non verbal yang terukir pada guratan ekspresinya. Cael menggertakkan rahang. Ia juga sering memutus kontak mata dari Elra. Seolah pikirannya tengah bergumul dengan sesuatu yang membuatnya kesal.

Mengingat Caelum merupakan sosok yang lebih suka menyembunyikan masalah, Elra harus mencari cara agar membuat pria itu mau untuk membuka diri. Membuatnya bersedia menceritakan apa yang mengganggu pikirannya. "Kamu mau nemenin aku cari buku dulu nggak?"

Caelum sedikit tersentak. Lamunan mengenai masalah memang tengah menginvasi isi kepalanya. Rencana sederhananya hanya sekedar mengantar Elra untuk pulang ke rumahnya. Tapi permintaan gadis itu tidak mungkin ia tolak begitu saja. "Boleh, tapi aku pulang dulu ke rumah sebentar." Ia harus bicara dengan ibunya, sebelum Amanda kembali menambah masalah.

🥀

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang