26| Jiwa Ini

57 25 137
                                    

🌹

Diamku karena takut
Jika perkataan itu berujung maut
Sedangkan kebohongan terus berlarut
Menambah bara api dendam yang tak akan surut

🥀🥀

Suara-suara berat dan serak dari percakapan sayup terus berputar di dalam pikiran Lea. Suara itu berasal dari musik menyeramkan yang Cael putar secara berkala. Musik yang berhasil membuat Lea tak bisa menutup mata. Ia merasa diintai oleh bayangan gelap di sudut ruangan. Entah hantu itu nyata, atau ilusi dari pikiran Lea menciptakan gambaran itu.

Namun sekarang, kehadiran Cael membuat Lea menutup matanya rapat-rapat. Berpura-pura bahwa ia sedang terlelap. Bibir pucat gadis itu bergetar karena ketakutan. Bukan setan yang sekarang ia takuti. Hal lain yang selalu menghantuinya semenjak empat tahun silam.

Pergelangan tangan Lea semakin terasa perih. Sentakan kasar dari Jevin menambah memar di kedua pergelangannya.

"Sstt!" Jevin membekap mulut Lea. Menahan teriakan gadis itu agar tidak terdengar hingga keluar ruangan. "Om Varo di luar! Lu mau gue kasih lu sama dia?" ujar Jevin kesal. Ia kembali menurunkan tangannya. Lalu menyentakkan ikatan tangan Lea.

Mata Lea terbuka lebar. Napasnya tertahan mendengar kalimat terakhir Jevin. "Om Var-o" ujar Lea dengan getaran di bibir. Lututnya terasa goyah untuk kembali melangkah. Ia tak mau Om Alvaro tahu keberadaannya. Terlebih di sini! Dalam keadaan dirinya yang ditawan oleh Caelum. Lebih baik dia menjadi korban tahanan Cael daripada Om Alvaro!

Pria itu monster berhati dingin. Bukan... dia pria psikopat yang tidak segan-segan menghilangkan nyawa seseorang!

Wajah Jevin terlihat tegang. Asumsi bahwa Om Alvaro ke sini karena keberadaan Lea sama sekali tidak pernah ia pikirkan. Rahangnya ditarik tegas saat kesadaran baru terlintas di benaknya. "Lu pasti tahu sesuatu kan?"

Gadis yang ditanya menarik napas tajam.

Tidak butuh jawaban pasti dari Leanora. Jevin sudah bisa menebaknya, bahwa memang benar Lea mengetahui sesuatu. Jika tidak, mana mungkin Om Alvaro sendiri datang ke sini secara langsung.

Jevin harus bermain cerdas dan berani. Om Alvaro pandai menilai ekspresi. Jevin harus pandai bermain kata. Agar ucapannya terdengar meyakinkan dan membuat om Alvaro tidak masuk ke dalam rumah.

"Lu pasti tahu sesuatu kan?" tanya Cael dengan suara tenang.

Lea membuka matanya. Tatapan marah Jevin dan suara Cael menyatu dalam pikirannya.

"Kalau lu mau ceritain apa yang terjadi di rumah Iqbal pada malam itu... gue bakal lepasin lu." Tidak ada emosi dalam suara Caelum. Ia menekuk kaki, duduk bersila di atas lantai kotor.

Apa yang terjadi malam itu? batin Lea. "Kalau lu tahu pun, lu nggak bisa berbuat apa-apa," ujar Leanora dengan napas tertahan. Tubuhnya lemas. Rasa nyeri di perut, membuat ia menekan bagian lambung. Ia tidak ingat lagi, sudah berapa hari Caelum menyekapnya.

"Itu urusan gue. Lu nggak usah mikirin langkah gue selanjutnya." Nada itu semakin dingin. Cael melirik pergelangan tangan Lea. Ia melihat memar di pergelangan tangan itu.

Lea perlahan menoleh, membalas tatapan Cael dengan sorot tegang. "Lu tahu Om Alvaro itu orangnya punya pengaruh kuat. Lu nggak bakalan bisa ngelawan dia!"

Tangan Cael membulat dengan amarah. Napasnya tertahan, membuat dadanya terasa sesak. Perkataan Lea membuat Cael merasa lemah. Seolah ia tak bisa berbuat apa-apa!

Perasaan tak berdaya itu membuatnya marah! Karena kenyataannya, ia memang belum memiliki pengaruh apa pun untuk menyinggung keluarga Alvaro Nolan Adhiyaksa.

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang