35| Dalam Sekejap

41 20 91
                                    

Sudah kucoba untuk menyusun strategi
Namun dalam sekejap, semuanya dihancurkan oleh tragedi

🌹

Perasaan bersalah terus menggulung batin Caelum. Rasa sesak yang menghimpit dadanya terus meradang, di setiap kali ia mengingat percakapan terakhirnya di mobil dengan Elra. Caelum tidak mungkin mengatakan bahwa Elra sudah menjadi pacarnya pada Sera, bagaimana pun ia membutuhkan jawaban dari gadis yang hampir menjadi tunangannya itu.

Ponsel Cael berdering. Ia mengembuskan napas berat saat melihat nama yang tertera di layar. "Hallo Mom," ucapnya pelan.

"Kamu jadi ketemu sama Sera?"

Cael menghela napas berat sebelum berujar, "Ini aku lagi di parkiran."

"Parkiran? Dari tadi kamu ke mana aja?" bentak Amanda dari seberang telepon.

Caelum menggertakkan rahang, merasa kesal karena kembali dimarahi oleh ibunya. Tapi balik meninggikan suara akan menambah suasana menjadi semakin emosional. "Tadi aku ada urusan dulu. Udah lah Mah, aku nggak mau ribut. Aku tutup dulu." Tanpa menunggu jawaban dari seberang telepon, Caelum mematikan sambungan.

Saat Caelum melangkah menuju lobi rumah sakit, ponsel di saku celana jeansnya kembali berdering. Ibunya kembali menelpon. Ia hanya mengabaikan panggilan itu.

Ketika ia sudah menginjakkan kaki di lobi rumah sakit, Cael teringat sesuatu. Ia tidak bisa langsung ke ruangan Sera begitu saja. Ia membutuhkan kartu akses menuju lantai VIP berada.

Jam di ponselnya menunjukkan pukul 8.13 P.M.

Cael berdecak kesal. Ia merasa bodoh dan menyedihkan! Setelah semua ancaman dan perilakunya pada Sera... ia kembali menghadap gadis itu. Bahkan Caelum membutuhkan pengakuan dari Sera, agar ia bisa mendapatkan sedikit petunjuk mengenai apa yang terjadi dengan Clarice saat gadis itu menghilang.

Andai saja dia tidak mempermalukan Sera saat acara ulang tahunnya, Caelum tidak akan merasa dilema  seperti saat sekarang ini. Ia tidak akan menjalin hubungan dengan Elra. Ia tidak akan merasa bersalah telah mempermainkan perasaan gadis polos itu!

Ponselnya kembali berdering. Kali ini, sebelah alisnya terangkat saat menatap nomor tidak dikenal. Meski begitu, ia berpikir lebih baik untuk mengangkatnya dulu dibandingkan mengabaikannya. "Halo..."

"Lum, ini gue... Jevin." Suaranya terdengar tersengal-sengal.

Senyum kecil terukir di sudut bibir Caelum. "Gimana kabar lu sekarang?"

"Gue ketemu sama Bang Raka tadi. Yang ngeselinnya itu, dia emang tampak akrab gitu sama Iqbal. Dia ketawa liat gue. Di  otaknya mungkin mikir, gue dan dia itu sama, karena telah khianatin lu." Jevin mendecih pelan sebelum melanjutkan kalimat. "Gue nggak punya waktu buat cerita banyak. Gue telepon cuman mau bilang sekarang gue lagi perjalanan ke rumahnya Bella. Aneh sih, mereka nyuruh gue ke sana untuk cek keadaan dia. Tapi yang terpenting, gue punya kesempatan untuk dapetin sampel anaknya Bella. Gue pinjem hp karyawan di mini market. Nomor lu, gue blokir. Takutnya tu cowok maniak meretas ponsel gue."

Caelum menekan pelipisnya yang kembali berdenyut. Perkataan Jevin menumbuhkan rasa kekhawatiran. Belum cukup rasa itu menyiksa batinnya, masalah yang akan Caelum hadapi sekarang malah menambah sakit kepala. Ia harus memutar otak untuk mencari cara agar bisa bertemu dengan Sera! Jika ia sudah bertemu, apa yang akan ia katakan pada gadis itu? Terakhir mereka bertemu, Sera berteriak kencang padanya. Caelum juga masih memendam kebencian yang semakin lama semakin merusak hubungannya dengan gadis sipit itu.

"Lu hati-hati ya. Gue nggak mau kalau temen gue sampai nanggung akibat dari masalah gue!"

Jevin tertawa pelan. "Untuk sekarang, aman Lum. Gue nggak bisa hubungi lu tiap hari. Tapi kalau ada informasi mendesak, gue bakal kabari lu."

Caelum mengernyitkan kening saat menatap bilah notifikasi teratas. Ibunya mengirim pesan. Ia membuka aplikasi hijau itu, membaca cepat pesan dari Amanda. 

Caelum menggenggam erat ponsel di tangan, merasa geram usai membaca pesan dari ibunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Caelum menggenggam erat ponsel di tangan, merasa geram usai membaca pesan dari ibunya. Pikiran pemuda itu berkecamuk dengan asumsi. Kenapa Sera menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya terjadi? Ia begitu intens menekan sisi emosional Sera. Bahkan sampai membuat gadis itu stres dan dirawat di rumah sakit. Tapi sekarang, gadis itu berbohong pada ayahnya!

Cael kembali ke mobil. Ia akan pulang ke rumah. Ia tidak bisa memaksakan dirinya mengunjungi Sera malam ini. Pikirannya berkecamuk dengan banyak persoalan. Yang pertama, Cael mengkhawatirkan Jevin. Meski dugaan bahwa anak Bella ada hubungan biologis dengan Iqbal, informasi itu tidak terlalu berguna untuknya. Iqbal terlalu brengsek untuk bisa diancam dengan menggunakan anak tak berdosa itu!

***

Caelum mengecek jadwal kelas dan beberapa laporan kemah sambil menyendok nasi goreng yang dimasak Bi Gis. Kuliahnya jam dua. Sedangkan perkembangan laporan perlengkapan sudah sampai 60%. Besok dia akan pergi ke lokasi kemah. Jaraknya sekitar 51 km. Estimasi waktu perjalanan sekitar satu jam melalui tol.

Usai menghabiskan sarapannya, Cael bergegas menuju pintu.

Ia akan ke rumah Sera pagi ini. Tapi Caelum harus menyusun ide. Percakapan yang memojokan Sera tidak akan berhasil membuat gadis itu buka suara. Ia tak boleh bertindak agresif. Ia harus memainkan topeng manipulatif.

Tadi malam, ia sengaja pulang agak larut, menunggu ibunya tidur. Caelum hanya ingin menghindari percakapan dengan ibunya itu. Di tengah perjalanan menuju rumah Sera, ia teringat Elra.  Jika tadi malam ia merasa putus asa untuk melanjutkan rencananya, pagi ini... Caelum merasa optimis. Jika dengan Sera ia harus berpura-pura, dengan Elra Cael bisa terbuka. Bersikap jujur apa adanya. Dengan begitu, Elra mungkin mau membantunya untuk mencari informasi terkait kasus Clarice.

Yah, masalahnya... Elra punya daddy issues. Pria itu menghilang begitu saja semenjak ibu Elra meninggal dunia, lima tahun lalu. Hm, mungkin Cael bisa bertanya pada Tante Ema mengenai hubungan ayah dan anak itu.

Caelum menarik senyum simpul. Rencana hari ini sudah tersusun di benaknya. Ia akan ke rumah Sera sebentar, lalu pukul sembilan dia akan ke rumah Elra. Jika dia tidak bertemu Tante Ema di sana, ia akan mencari wanita  itu di tokonya.

Ketika ia sudah berada di depan gerbang rumah Sera, pemuda itu menekan kontak gadis itu. Ia tak membawa apa-apa. Jika ia tiba-tiba bersikap manis dan meminta maaf, Sera akan curiga. Gadis itu pintar membaca suasana. Lebih baik Cael bertamu apa adanya.

"Halo, Ser..."

Embusan napas berat dari seberang telepon terdengar. "Ada apa lo ke rumah gue?"

Cael menelan saliva dengan kasar. Ia melirik ke lantai dua. Tirai jendela gadis itu terbuka. Ia tak bisa dengan jelas melihat wajah Sera, namun ia bisa memandang siluet seseorang sedang berdiri di dinding kaca itu. "Gue mau tahu, kenapa lu bilang ke bokap lu, kalau Iqbal yang mutar rekaman itu?" Pertanyaan itu muncul begitu saja di dalam pikiran Cael. Mendengar suara Sera saja membuatnya kembali merasa kesal. Bagaiamna bisa ia berpura-pura lembut saat berbicara dengan gadis itu?

Hening di seberang telepon. Tidak ada jawaban dari Sera. "Bisa kita ketemu?" tanya Cael.

"Udah, cukup! Gue..." Suara Sera terdengar bergetar dari seberang telepon. "Gue nggak sanggup ketemu lo lagi. Jadi plis, lo menjauh dari gue...." Suara tangisan mengalun pelan. Detik berikutnya, sambungan diputus dari seberang telepon.

Caelum merasakan sesuatu menghimpit hatinya. Ia tahu, rasa bersalah itu ada. Namun rasa lain yang membara, membuatnya menarik senyum kecil. Jauh di dalam hatinya, Cael tahu... Sera layak merasa hancur!

🥀

ᴄᴀᴇʟᴜᴍTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang