Kasus Kedua

169 14 2
                                    


Suara kertas yang tengah beradu dengan ujung pena terdengar. Beberapa kali, si penulis mengganti kertasnya karena dianggap tak sesuai dengan apa yang ingin ia tulis. Hingga pada akhirnya dia menuliskan hal yang ada di dalam pikirannya.

Tulisan panjang itu berbunyi :

Dewi, ini aku, Cleopatra Dresanala. Kamu ingat aku kan? Kita pernah satu angkatan dulu ketika kuliah. Aku tidak bisa panjang lebar di sini. Aku hanya ingin kamu menyampaikan ini pada suamimu juga kakak iparmu.

Aku adalah adik tiri dari Sarah. Kamu pasti ingat siapa Sarah. Kami beda ayah, meski satu ibu. Kakaku sudah meninggal setengah tahun lalu, bersamaan dengan itu pula muncul pemberitaan jika ayah tiriku juga tewas. Tapi, kamu perlu tahu jika ayah tiriku nyatanya belum mati. Pengikutnya berusaha menghidupkan dia kembali.

Aku tidak habis pikir dengan kegilaan ini. Ayah kandungku dihabisi oleh Jatra bangsat itu. Ibuku juga. Aku melihat Jatra membunuh mereka dihadapanku karena mereka lancang ingin bertaubat dan tak mau lagi mengikuti aliran sesat ayahku. Ayahku butuh banyak tumbal untuk menuruti nafsu setan dalam dirinya.

Aku takut setelah kepergian kakakku, akulah yang akan menjadi senjata pria gila itu. Jika sampai dia benar-benar hidup kembali, itu artinya aku akan mati.

Aku ingin meminta bantuan padamu. Tolong, aku tidak mau mati konyol. Setidaknya aku ingin mati dalam kondisi memegang keimanan yang sudah ayahku ajarkan padaku sebelum ia dibunuh oleh Jatra.

Dewi, aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi. Aku tidak tahu harus bagaimana. Harapanku satu-satunya ada pada kalian. Aku berpacu dengan waktu.

Jika sampai si jahanam itu bangun kembali. Pasti akan ada kegilaan yang terjadi. Tolong... Sampaikan ini pada Langit dan Dewa.

Terima kasih sebelumnya dan aku bahagia atas kebahagiaanmu. Selamat atas kehamilanmu. Aku di sana waktu itu. Di klinik dr. Tsurayya.

Gadis itu menyudahi tulisannya dan melipat surat tersebut sebelum memasukkan ke dalam amplop.

Ini cukup beresiko sebenarnya, tetapi ia punya orang yang bisa dipercaya untuk mengantarkan suratnya pada alamat yang ia tuju.

Ia tengah membutuhkan bantuan. Ya... Hidupnya tengah tak baik-baik saja. Ia harus berpacu dengan waktu jika ingin selamat.

Ketukan di jendela kamarnya terdengar. Cleo sedikit terperanjat.

"Cle, it's me."

Suara itu Cleo kenal. Ia segera membuka gorden jendelanya. Ada sosok laki-laki dengan kacamata hitam dan kaos putih berdiri di sana.

"Nonton?"

Cleo segera mengangguk. "5 minutes."

Gadis itu segera mengganti bajunya. Sebelum menemui sosok yang ia kenal sejak beberapa minggu lalu.

Namanya, Bumantara Tjandra, anggota satreskrim berpangkat Brigadir Satu. Cleo tanpa sengaja bertemu dengannya di makam sang kakak. Saat itu, ia pikir Buma adalah pelayat biasa tetapi lelaki itu cukup ceroboh, menjatuhkan identitasnya dan mata elang Cleo menangkap apa yang tertulis di sana.

Cleo pun diam-diam mencari tahu tentang sosok Buma dan ia mendapatkan informasi jika benar dia adalah anggota kepolisian.

Karakter Buma yang dingin membuatnya Cleo nyaman berinteraksi. Buma juga selalu serius sehingga tak lama perlu basa basi jika berbicara.

Cleo segera keluar, ke arah cafe di depan kosnya. Buma sudah menunggu sembari mengobrol dengan pemilik Cafe yang kebetulan juga ibu kos Cleo.

 Buma sudah menunggu sembari mengobrol dengan pemilik Cafe yang kebetulan juga ibu kos Cleo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang