Kasus Keempat

105 13 0
                                    

Suara gemericik air terdengar. Kran air di kamar mandi kembali berfungsi setelah tadi sempat mati karena pemadaman dari pusat.

Ya, begitulah, kadang terjadi pemadaman air dari PDAM di waktu-waktu tertentu.

Genangan itu hampir merembes ke arah kamar. Si empunya segera mematikan sumber air di sana.

“Cleopatra! Matikan airnya! Aku benci basah, aku benci basah. Jangan ceroboh kalau sekiranya air mati, tutup kembali krannya! Kita bisa mati tenggelam kalau tadi aku tidak terbangun!”

 Suara sang kakak mendadak seperti terdengar kembali. Bukan pertama kalinya ia seeroboh itu dan Sarah yang tak suka air, jelas akan marah. Ya, kakak seibu beda ayahnya itu begitu membenci air. Ia sama sekali tak suka bersentuhan dengan air. Mandipun, sehari sekali jika ia tengah rajin, jika tidak ya dia tidak akan mandi selama dua tiga hari. Namun, tubuhnya memang tak pernah berbau dan berkeringat. Entah, sejak dulu, Sarah memang istimewa. Ia hampir tak pernah berkeringat ataupun berlinang air mata.

Berbeda dengan Sarah, Cleo sangat suka dengan air. Ia bahkan betah lama-lama mandi atau berenang. Sehari ia bisa mandi tiga sampai lima kali setelah beraktivitas.

Deras hujan di luar sana membuat Cleo mendadak teringat sang kakak. “Kak, apa kamu juga benci tiap hujan datang membasahi rumah terakhirmu?”

Mata cokelat terang itu menatap ke luar jendela yang masih belum ia tutup sempurna gordennya.

“Andai kamu tahu, aku sayang kakak. Hanya saja, orang gila itu membuat hubungan kita tidak baik-baik saja. Harusnya dia yang membusuk di neraka.”

Suara kucing yang seperti tengah terkejut mendadak membuat Cleo waspada. Ia perlahan menutup gorden di sisi kanan kamar. Entah sejak kapan, ia sesensitif itu. Perlahan, Cleo melangkah ke atas kasur tanpa ranjang di sudut ruangan.

Benda pipih bercasing hitam dengan gambar cup cake pink, ia cari. Itu adalah senjata terbaiknya saat ini.

“Ja-jangan!”

“Tidak ada siapa-siapa di sini.”

“Pak, jangan. Bapak janji hanya meminta ditemani.”

Suara itu terdengar dari lorong kecil di samping kamar Cleo.

“Pak! Tolong, jangan! Pak!”

“Sudah, diam! Aku akan bayar berapapun kamu minta.”

Cleo mulai curiga. Suara-suara yang ia dengar sudah cukup menggambarkan apa yang terjadi di luar sana.  Ia ragu, haruskah ia keluar sendiri dan menghentikan kejadian yang mungkin sesuai gambaran pikirannya, ataukah ia memilih cara kedua.

Benda pipih di tangannya ia jadikan senjata, kali ini. Ia menekan angka satu dan langsung terhubung ke nomor orang yang sementara ini menjadi yang terpenting di hidupnya.

Ya, Cle, ada apa?”

“Kangmas.”

Suara Cleo yang setengah berbisik, sudah memantik kepekaan Buma. “Cle, bicara sekali lagi.”

“Di lorong sebelah,” bisik Cleo lagi.

“Jangan matikan telponnya, aku belum jauh dari kafe. Aku putar balik dulu. Biar Zidan yang ke sana lebih dulu.”

Cleo patuh. Ia sebenarnya mulai panik karena mendengar suara seorang wanita yang semakin lama terdengar semakin jelas terisak. Ia berpikir, andai yang ada di luar sana adalah musuhnya atau orang yang berkaitan dengan sekter, lalu mengenalinya, pasti masalah yang ia hadapi akan semakin runyam.

Ia memutar otak. Dan, ide muncul saat melihat mukena yang ia gantung di gagang lemari terllihat. Sebelum mengenakan mukena, ia terlebih dulu menutup wajahnya dengan masker. Ya, setidaknya ini cukup membantu menyembunyikan wajahnya.

“Pak! Jangan Pak!”

“Diam! Diam dulu….”

Suara si pria makin terdengar menjijikkan di telinga Cleo. Ia pun memutuskan untuk keluar. Di saat yang bersamaan, ia mendengar suara lantang yang muncul dari sisi lain.

“Hei! Siapa di sana?!” teriak orang yang sepertinya baru datang.

“Sial!” gerutu pria tua yang sepertinya benar-benar kesal kesenangannya diganggu.

“Kalian ngapain di situ?”

Cleo berakhir mengintip. Ya, ia seperti pecundang yang tengah mengintip musuh. Ada ribuan kalimat muncul di pikirannya, membuat dirinya bimbang untuk keluar atau tidak. Keberadaannya di tempat persembunyian sekarang ini adalah yang terbaik dan teraman dibanding tempat-tempat lain. jika ada salah satu anggota sekte saja yang mengenalinya, bisa-bisa ia akan segera dijemput paksa untuk kembali dipasung di istana duplikat neraka milik mantan suami ibunya.

“Jangan ikut campur! Saya hanya sedang berbicara empat mata dengan putri saya!”

“Putri?”

“Iya. Putri saya. Memangnya salah kalau ada ayah dan anak berbicara empat mata?”

Cleo diam-diam memperhatikan sosok di sana. Pria berkepala botak dengan perut buncit berdiri di samping gadis muda yang terlihat ketakutan.

“Anak dan ayah?”

Cleo kenal siapa yang tengah menginterogasi keduanya, namanya Elzidan, dia adalah rekan tim Buma.

Dasar, anak baru, keliatan banget sih tanyanya khas petugas. Nggak bisa lebih manusiawi sedikit apa? Batin Cleo mengomentari cara Zidan bertanya yang mencerminkan gaya khas seorang penyidik yang tengah mencurigai saksi yang terlibat dalam kasus yang ia tangani.

Cleo mengamati gerak-gerik dua orang yang tengah diintergasi di sana. Ia sepertinya tidak asing dengan sosok pria botak di sana. Apakah ia pernah kenal sebelumnya? Ataukah ia pernah bertemu orang itu sebelumnya?

Ia mematikan sambungan teleponnya dengan Buma, kemudian mencuri gambar wajah sang pria. Namun, belum sempat ia menggunakan aplikasi google lensnya, sang kekasih pals kembali menelpon.

Jangan matikan telponnya, Sayang!” geram Buma dari seberang telpon.

Cleo mengulas senyum. “Cie, yang pacarana beneran. Mmm, sepertinya dia tidak bahaya sih, Mas. Dia ha-“

Sebuah letusan senjata api terdengar. Sesaat kemudian, kembali letusan berulang. Mata Cleo mendadak terbuka.

“Bapaaaaak!”

Teriakan itu begitu memilukan, selama beberapa detik tetapi cukup menyayat hati.

Cle? Cle?”

“Mas! Mas! Emergency!” ia berteriak di ujung ponselnya.

Cleo keluar dari persembunyiannya. Aliran darah dari sosok yang tertembak di sana terlihat mengerikan. Lagi… dan lagi… Cleo harus menyaksikan seseorang yang nampaknya baik-baik saja beberapa menit lalu kini harus meregang nyawa dengan tubuh bersimbah darah akibat luka tembak.

Selemah itukah manusia? Dan sekejam itukah manusia. Dimana ia bisa memutuskan mengakhiri waktu hidup manusia lain di tangannya? Dengan hanya menarik pelatuk dengan satu jarinya. Nyawa orang tak bersalah bisa menghilang begitu saja.

 
*************


Assalamualaikum

Hai

Cleo kembali bersama Mas Buma

🥰🥰🥰🥰
 

 

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang