Kasus Kedelapan

113 20 7
                                    

Sosok tinggi jangkung yang selalu berpenampilan ‘mahal’ meski dengan outfit berharga standar itu menenteng lima buah box bento. Tujuannya kali ini adalah rumah sakit tempat di mana adik tirinya tengah berada. Bukan, bukan sebagai pasien, tetapi sebagai seorang penjaga dari korban kasus penganiayaan. Ya, adiknya adalah seorang polisi, dan dia begitu bangga akan hal itu.

Angkasa, melenggang masuk ke area rumah sakit lewat pintu yang terbuka 24 jam di sisi kiri. Ia tahu jalan ini setelah diberi informasi oleh Bening, gadis pujaan hatinya.

Mas kalau ke rumah sakit jam segini, lewatnya yang sebelah kiri. Kalau gerbang depan tutup. Bisa sih lewat IGD, cuman ntar ditanyain mau ketemu siapa di mana dan kemungkinan bakal ditolak kalau udah lebih dari jam delapan malam. Emang Mas Asa mau ketemu siapa?”

Tadi, Angkasa menjawab dengan asal. “Aku mau ketemu mantanku yang lagi sakit. Dia ngajak aku balikan. Ya, daripada ngejar kamu berbulan-bulan nggak ada hasil, terpaksa aku harus puter balik. Kasihan orangtuaku.”

Saat melangkah menuju area gate samping. Seorang petugas yang tengah berada di depan gerbang utama mendekat.

“Pak Angkasa?”

“Iya, saya.”

Angkasa berusaha tetap tenang. Jika memang ia tak bisa masuk, mungkin ia bisa beralasan jika ada polisi kelaparan di dalam sana sedang menunggunya.

“Pak Angkasa mau masuk? Siapa yang sakit? Pak Direktur? Pak Faraz? Ibu? Atau Mbak Nirbita?”

Mendengar semua anggota keluarganya disebutkan, Angkasa ingat sesuatu. Ia menertawakan kebodohannya sendiri dalam hati. Bagaimana ia sampai lupa jika rumah sakit ini direkturnya adalah daddynya sendiri. Selama ini, Angkasa hampir tak pernah main ke rumah sakit ayahnya. Ada sedikit trauma di mana ia harus melihat adiknya meregang nyawa di sana saat melahirkan keponakan satu-satunya, Nirbita.

“Oh, ada, saudara di sini. Apa boleh masuk? Maaf, baru selesai kerja jadi ya baru bisa datang di jam mepet tutup seperti ini.”

Dengan senang hati si penjaga membuka lebar gerbangnya. “SIlakan, Pak. Rumah sakit ini milik keluarga Pak Angkasa. Kapanpun Bapak mau datang, tentu boleh.”

Angkasa memberikan senyuman lebar. Ia dengan cepat merogoh lembaran uang di saku mantelnya dan menyelipkan pada si petugas saat bersalaman.

“Pak, ini?”

“Buat ngopi, Pak. Semangat bertugas ya,” ucap Angkasa.

Ucapan terima kasih jelas beruntun terdengar. Bahkan ketika Angkasa menghilang di tikungan koridor menuju ke arah masjid di dalam komplek rumah sakit, suara sang sekuriti masih menggema.

Angkasa segera menemukan sosok yang cukup mirip dengannya meski tak setinggi dirinya itu. Si adik laki-laki kesayangannya, seayah meski beda ibu.

Kisah cinta pelik kedua orang tua mereka, membawa takdir tak biasa pada cerita hidup kakak beradik yang baru saling bertemu sejak dua tahun terakhir ini. Ayah kandung mereka sama, tetapi ibu mereka berbeda.

Ayah Buma dan ibu Angkasa, adalah pasangan kekasih yang hampir menikah, hingga suatu hari keduanya berpisah saat tempat pengabdian mereka digempur oleh pihak separatis yang membuat keduanya tak bertemu lagi. Di saat itu, ibu Angkasa tengah mengandungnya. Beruntung, ibu Angkasa menemukan sosok lain yang begitu mencintainya. Menyembuhkan luka atas perpisahaan paksa yang terjadi oleh takdir. Ibu Angkasa dinikahi oleh orang yang begitu tulus mencintainya, dan menerima Angkasa serta adik kembarnya dengan penuh kasih.

Sementara itu, ayah kandung Angkasa, menikah dengan perempuan yang dulunya adalah junior sang ibu saat tengah membantu para prajurit di medan pergolakan. Keduanya menikah dan memiliki empat orang buah cinta, Bumantara, Binar, Bintang, dan Berlian. Memang tidak mudah bagi Angkasa untuk menerima dan diterima oleh keluarga baru ayahnya, tetapi ketulusan sang ibu tiri membuat pemuda yang berusia hampir kepala tiga itu mencoba untuk dekat dengan adik-adik barunya.

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang