Cleo POV
Jalanan begitu licin. Bersyukur, kakiku yang hanya tulang dan kulit ini nyatanya bisa digunakan menapaki jalur setapak ini. Ada lumut hijau melekat pada bebatuan di sana. Hawa di sini begitu sejuk, jauh dari polutan, cederung dingin. Hidungku sepertinya mulai terbiasa dan tidak lagi ingusan seperti awal-awal pindah.
“Kwaaaaak! Kwaaaaaak!”
Jeritan burung berwarna hitam yang terbang ke sana ke mari terdengar. Sempat membuat nyaliku ciut, tetapi sudah sejauh ini aku melangkah pergi meninggalkan sosok yang beberapa hari ini tak pernah pisah denganku.
Berat memang meninggalkannya dengan cara seperti ini tetapi aku harus melakukannya. Aku harus berjumpa dengan ibuku dan mengubah takdir yang ada. Meski nanti aku tak akan terlahir di dunia. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan kedua orang yang sangat aku cintai itu.
Burung hitam di atas sana, lama-lama tak membuatku nyaman. Ia seperti mengintaiku dari atas.
“Kalau ada yang mengintaimu, menyatulah dengan apa-apa yang ada di sekitarmu.”
Saran itu mendadak menyeruak di pikiranku. Betul apa kata mas Buma, aku harus segera menyamar. Hal pertama yang aku pikirkan adalah menyelinap di antara semak-semak atau mengganti baju yang kukenakan. Well, ada untungnya aku meminjam jaket berwarna army milik Pak Polisi itu. Kukenakan pula tudung kepalanya, agar tak mencolok dari atas. Hmm… rasanya mendadak menjadi hantu rimba. FYI, menurut kabar yang aku dengar, ayah kandungku adalah salah satu prajurit, entah apa pangkatnya.
Ia adalah rekan dari kakak ibuku. Mereka tergabung dalam kesatuan yang sama. Konon, ayahku telah menaruh hati pada ibu sejak awal bertemu. Namun, tuntutan pekerjaannya membuat harus menjaga kedaulatan di daerah terpencil dan mereka berpisah. Ayah sempat patah hati saat ibuku dipaksa menikah dengan laki-laki biadab itu, tetapi takdir kembali mempersatukan mereka, walau hanya beberapa tahun dan berakhir di tangan laki-laki biadab itu.
Satu, dua, tiga, dalam hati aku menghitung. Dari satu pohon ke pohon lain, aku melompat, berusaha agar mata burung di atas sana tak lagi dapat mengintaiku.
Entah berapa jauh aku sudah berjalan. Kakiku mulai kepayahan. Namun, jajaran rumah di seberang tebing membuatku kembali semangat. Aku harus sampai ke sana sebelum malam datang.
Kembali kuseberangi sungai dan naik ke jalan setapak menuju perkampungan di atas bukit.
Aku sempat berhenti dan sembahyang di atas batu besar di tengah sungai. Rasanya ternyata jauh lebih nyaman dan membuatku lebih khusyuk dari pada ketika bersujud di atas permadaniku di rumah.
“Astagfirullahal adzim.”
“Eh tunggu dulu, jangan pergi.”
“Berhenti di situ, Dek. Udah.”
“Nggak mau, Mas harus cicipin ini dulu sini.”
“Dek, nggak boleh. Ayo kita pulang ke rumah.”
“Ih, Mas, sini dulu.”
“Kita bukan mahram, Dek. Haram suap-suapan begitu.”
Aku menoleh ke arah dua orang yang tengah berbicara dengan suara cukup keras di sana. Satu laki-laki tinggi dengan tubuh liat cenderung kurus, di sisi lain gadis berkulit putih susu dengan postur pendek dan pipi gembil tetapi tidak gemuk.
“Mas nggak seru.”
Gadis itu terlihat merajuk. Si laki-laki yang tadinya berwajah garang, kini terlihat khawatir karena gadis yang ia bentak menunjukkan ekspresi kecewa.
“Yaudah, aku buang aja.”
Tanpa basa-basi, sebuah bakul yang entah apa isinya, mendadak dibuang oleh si gadis. Jelas, keterkejutan terlihat dari sosok laki-laki di depannya.
“Dek, kok dibuang?”
“Kalau Mas nggak mau, yaudah mending dibuang aja. Maaf udah ganggu waktunya.”
Aku tanpa sadar tersenyum. Drama sekali. Hmm… model cewek toxic ternyata sudah ada sejak jaman dulu. Tanpa aku sadari, gadis itu ternyata tengah menatap ke arahku.
“Hai.”
Dia menyapaku. Aku segera membalas meski jujur tidak menyangka dia menyadari keberadaanku.
“Hai, Mbak.”
Dia menatapku dari atas ke bawah.
“Saya tersesat Mbak. Saya terpisah dari rombongan teman saya.” Aku segera menjelaskan.
“Dek, jangan bicara dengan orang asing sembarangan.”
Laki-laki tadi mengingatkan.
“Ngapain sih? Ayo, ikut aku ke rumah.”
“Dek!”
Aku ditarik menjauh. Aku yakin laki-laki itu pasti curiga karena melihat penampilanku yang tak seperti dandanan gadis biasa di tahun ini.
“Assalamualaikum Akhi,” ucapku.
Pandangan laki-laki itu mendadak berbeda. Ia kemudian menangkup tangan. “Wa alaikumussalam warahmatullah, Ukhti.”
Jangan panggil aku Cleo jika aku tidak bisa seperti bunglon, berubah-ubah demi mengambil hati orang lain.
“Ayo ikut aku saja. Jangan pedulikan dia.”
“Pacarnya ya, Mbak?”
Wajah si gadis memerah. Sedangkan si laki-laki terlihat memalingkan wajahnya. Keduanya malu-malu, itu kesimpulanku. Dasar, orang jaman old. Segitu saja sudah tersipu. Kalau anak jaman now, pasti digoda begitu tak bakal salah tingkah.
Aku pasrah, ditarik si gadis entah ke mana.
"Aku Phia. Kamu siapa?"
Aku mengulurkan tangan. "Io."
"Iyo?"
"I... O...." Aku mengucapkan sejelas mungkin.
"Oh, IO. Namamu lucu."
"Io Bumantara?"
"Hm?"
Aneh sekali, kenapa membawa-bawa Mas Buma?
"Itu. Ada di jaketmu. Namamu kan?"
"Oh... Iya. Eh, maaf, aku tersesat. Aku tidak tahu daerah sini. Apa... apa aku boleh menumpang di tempatmu atau semacamnya?"
Gadis itu mengangguk tanpa berpikir.
"Tentu. Ayo ikut aku."
Kuakui dia begitu baik, tetapi juga terlalu polos. Bagaimana ia bisa begitu saja percaya pada orang asing sepertiku?
"Dek, tunggu!"
"Hop! Mas nggak usah ngikutin! Berhenti di situ! Aku mau pulang sama temen baruku! Kamu diam di situ. Jangan ngikutin aku! Aku benci sama kamu!"
Kupicingkan mataku, menatap ke arah keduanya. Benar-benar pasangan alay. Menggelikan tetapi aku suka melihatnya.
Andai aku dan Mas Buma seperti mereka. Pasti lucu.
Ah, tidak. Tidak mungkin. Mana mungkin manusia aneh itu akan semanis laki-laki ini.
"Ayo Io, jangan pedulikan dia."
Gadis itu menarikku lebih cepat. Kuimbangi langkahnya. Setidaknya aku aman. Ada orang bodoh yang bisa kumanipulasi, kumanfaatkan untuk bertahan di sini sebelum ketemu ibu dan ayah kandungku.
***************
Assalamualaikum
Selamat malam..
Akhirnya di up setelah sempat lupa
🥰🥰🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Desus Kasus
RomansaCleopatra Dresanala, tengah dihadapkan pada kenyataan jika dirinya akan dijadikan boneka oleh mantan suami ibunya pasca kematian sang kakak tiri. Jatra, laki-laki pemimpin sekte terlarang, selalu membutuhkan bantuannya untuk mencari tumbal. Bumanta...