Kasus Keduapuluhlima

72 17 2
                                    

Tubuh lemah milik Angkasa ditandu oleh tim SAR. Jangan tanya bagaimana bentuk wajahnya. Terantuk bebatuan dan terguyur air sejak pagi buta.

"Mas!"

Teriakan pilu sang kekasih tak membuat Angkasa terbangun. Sayup-sayup ia mendengar, tetapi tak membuatnya bisa membuka mata.

"Captain Angkasa! Captain Angkasa! Anda mendengar suara saya?"

Salah satu petugas yang melakukan tindakan pertolongan pertama terus memanggil Angkasa, menunggu responnya. Namun, otak dan tubuh sang pria tak bisa sinkron. Ia hanya bisa merasakan nyeri sesekali saat jarum-jarum itu menusuk kulitnya, pun dengan alat-alat medis dan obat-obatan yang dimasukkan ke dalam tubuhnya.

Angkasa tidak tahu jika ada tiga wanita menangisinya. Ya... ia sama sekali tak tahu. Obat-obatan itu memaksanya untuk kembali lelap tertidur.

****

"Bening... makan dulu, Nak."

Wanita bermata sembab yang berusaha menguatkan diri setelah ikut dalam proses evakuasi sang putra, mengelus punggung calon menantunya.

"Bening belum lapar, Tan ... eh Mami."

Ya, sejak sah menjadi calon mertua, Dewi memang meminta Bening memanggilnya dengan sebutan Mami, seperti panggilan Angkasa padanya.

"Dua hari kamu belum makan. Kamu harus sehat kalau kamu mau nemenin Angkasa di sini. Kalau kamu ikut sakit, gimana nanti kalau Angkasa sudah bangun? Dia butuh proses panjang dalam penyembuhannya."

Bening menggigit bibir bawahnya. Masih saja air mata itu ingin tertumpah setiap kali mendengar nama dari pria yang kini koma di dalam sana.

"Makan dulu, ya?"

Si kecil Nirbita mendekati tantenya.

"Bita cuapin ya, Umi Ening."

Ponakan dari tunangannya itu mengambil kotak makan yang disodorkan sang nenek. Ia begitu sayang dengan calon istri kembaran ibunya.

Nirbita bahkan memanggil Bening dengan panggilan Umi. Ya, ia memang sangat merindukan sosok ibu. Karena ibu kandungnya meninggal satu jam pasca melahirkannya.

"Baca doa dulu," titah Nirbita.

Bening tak kuasa menahan rasa gemasnya. Kesedihannya sedikit teralihkan dengan kehadiran bocah itu. Ia pun membuka mulutnya saat sendok yang dipegang tangan mungil bidadari cantik itu mendekat.

"Kalau Umi maem banyak, nanti Papa Asa seneng."

Anak itu sudah sangat pintar menyenangkan hati orang lain.

Dewi tersenyum dan memeluk dua gadis kesayangannya.

"Kamu tidak perlu khawatir. Angkasa sudah melewati masa kritisnya. Dia sudah merespon dengan baik, hanya saja memang efek obatnya masih membuat ia tidur lebih lama. Insyaaallah secepatnya dia bisa segera dipindah ke ruang rawat biasa."

Bening mengangguk setelah mengucap hamdalah.

Antara lega dan tidak, ketika ia mendengar Angkasa ditemukan kemarin. Di satu sisi ia senang tunangannya ditemukan. Namun, di sisi lain, ia begitu terpukul karena kondisi Angkasa yang kritis dan memerlukan penanganan medis yang cukup intensif.

Ia tahu, Dewi hanya ingin membuatnya sedikit tenang. Sebuah pemikiran dan harapan positif yang mungkin Dewi gunakan untuk menyugesti dirinya juga jika putranya baik-baik saja.

Rasa sakit kehilangan ibu Nirbita belum hilang meski sudah lima tahun berlalu. Kini, putra satu-satunya yang tersisa pun harus meregang nyawa. Hati ibu mana yang tak hancur diuji seperti itu.

Di ujung lorong, ada sosok dua orang laki-laki yang berbincang serius. Ayah Nirbita dan ayah sambung Angkasa.

"Apa Bumantara belum ketemu juga?"

Pertanyaan itu membuat kepala ayah Nirbita bergerak ke kanan dan ke kiri.

"Co-pilotnya?"

Lagi, kepala duda beranak satu itu menggeleng.

"Belum, Dad."

"Kalau Angkasa ditemukan di air terjun, harusnya co-pilotnya juga jatuh tak jauh dari sana."

Faraz mengangguk-angguk. "Belum ada yang bisa dijadikan petunjuk. Malah yang ada berita dsri warga sekitar yang menyangkut pautkan semuanya dengan legenda daerah itu."

Satu alis dokter, sang direktur rumah sakit itu naik menatap menantunya.

"Ha? Legenda?"

"Iya, Dad. Biasalah. Kemarin waktu warga setempat membantu evakuasi, mereka malah menyangkutkan dengan mitos di sana. Mereka yakin kalau orang-orang yang kita cari masuk ke alam lain. Semacam, dunia paralel atau apa itu."

"Air terjun Kaliasmara?" gumam sang pria yang lebih tua.

Faraz menatap sang mertua. "Daddy tahu?"

Pria itu mengganti posisi duduknya. "Well, Daddy sama Mamimu pernah sembunyi di sana dulu. Waktu itu, di sana ada pemberontakan dari anggota separatis yang ditunggangi sekte-sekte aneh. Kami yang turun sebagai tim medis, terjebak di dalam situasi di luar nalar itu. Ya sekitar hutan itu. Mana waktu itu mami sedang hamil istrimu. Daddy bawa mami keluar dari hutan itu. Awalnya kami dikejar orang-orang pakai baju hitam terus ada iket batiknya. Tapi, alhamdulillah bisa selamat. Daddy sama mami bisa keluar dari sana setelah kurang lebih 5 hari, sejak hari pertama penugasan kami. Padahal kalau dinalar, hutan itu nggak ada 10 hektar, tapi ya, rasanya kayak perjalanan panjang."

Otak Faraz kembali bekerja tanpa perintah. Ia menghubungkan benang merah antara ucapan warga, mitos yang berkembang, dan cerita dari mertuanya.

"Lima hari?"

Pria itu mengangguk.

"Kenapa?"

"Buma sudah menghilang empat hari, berarti ada kemungkinan dia ditemukan hari ini atau besok. Jika mitos itu benar. Karena menurut mereka, korban yang selamat akan ditemukan di hari-hari ganjil."

Faraz menghubungi salah satu junior Bumantara yang masih melakukan pencarian di lapangan.

"Semoga saja. Sebenarnya Daddy pernah dengar tentang sekte itu. Sekte terlarang yang memang senang menunggangi para kaum separatis atau kelompok-kelompok oposisi agar terjadi gesekan dan pertumpahan darah. Karena mereka tidak perlu repot-repot mencari tumbal. Orang-orang itulah yang tanpa sadar menyetor 1 persatu orang yang mereka anggap musuh. Mereka bahkan tidak sadar akan hal itu."

Faraz kembali menatap ayah mertuanya. "Dari mana Daddy tahu itu?"

"Dulu, tanpa sengaja Daddy dengar waktu datang ke salah satu pondok warga. Dan ada yang curiga jika percakapan mereka didengar orang, makanya mereka mengamuk setelahnya dan mengejar kami, warga sipil serta para petugas medis serta anggota keamanan yang terjun di sana. Mereka butuh nyawa... butuh darah sesembahan atau semacamnya. Astagfirullahal adzim."

Faraz semakin yakin saja dengan benang merah yang menautkan seluruh poin-poin yang ia kumpulkan selama ini.

Ia segera menginstruksikan pada rekan Buma lewat telpon.

"Siapkan tim. Ini ada hubungannya dengan anggota sekte itu. Sisir semua wilayah. Insyaaallah Buma segera ditemukan."

=====================

Assalamualaikum

Hello hellooooo

🎀🎀🎀🎀🎀

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang