Kasus Tigapuluhtiga

86 12 2
                                    


 

Davina dan Zidan, baru saja pulang dari klinik. Gadis itu ingin memastikan jika sang kekasih baik-baik saja pasca dipukuli oleh Buma.

“Nanti kalau lebamnya tambah sakit, kita ke rumah sakit ya.”

Zidan terkekeh melihat kekhawatiran gadisnya. “Iya, Nyonya.”

Keduanya turun dari motor dan saat sampai di rumah Zidan, netra Davina mendapati sosok wanita, tamu dari ibu Zidan.

“Davina.”

Wanita berbadan dua itu terlihat berbinar menatapnya.

“Davina kamu udah sehat?”

Wanita itu berusaha berjalan mendekati anak tiri dari suaminya. Gadis yang dulunya pernah jadi teman sebangkunya itu.

“Ibu.”

Mendengar panggilan dari Davina, sang wanita terharu dan memeluknya meski terhalang perut.

“Duh, adiknya Mbak Vina, kok pada heboh. Apa kabar kalian?” Davina mengelus perut wanita itu.

“Aku lega, kamu sehat-sehat. Ayahmu tiap hari nanyain apa ada telpon dari kamu atau enggak.”

Zidan dan ibunya mengamati dua orang di sana.

“Ibu ke sini sendiri?”

“Davina, kamu nggak perlu manggil aku kayak gitu.”

“Mana boleh. Ya walau kita seumuran, tapi kamu kan istri ayah sambungku.”

Davina cukup legowo dengan takdirnya.

“Ayahmu sekarang ada di pesantren pakdeku, Dav. Beliau sudah benar-benar hijrah. Perjuangannya tidak mudah untuk lepas dari seluruh ilmu hitam itu. Alhamdulillah, semua sudah membaik.”

“Terus kenapa ibu ke sini sendiri?”

“Tadi, kebetulan aku meriksain adik-adikmu ini dianter sama seseorang yang ngasih tahu kalau kamu sekarang tinggal di sini. Makanya aku cari beneran ke sini dan alhamdulillah ketemu. Akum au ngajak kamu pulang ke rumah baru kita. Di lingkungan pondok juga.”

“Tahu dari orang?” Insting Zidan berfungsi maksimal. Seorang penyidik sepertinya, jelas tak puas dengan kalimat seperti itu.

“Mbak Cleo. Beliau yang cerita. Kebetulan, semalam beliau datang ke pesantren dan pas saya sedang membantu Bu Nyai menyiapkan makanan. Beliau itu keponakan dari pimpinan pondok kami. Ayahnya, mendiang Gus Sanjaya, adalah putra dari pendiri pondok di mana seluruh keluarga saya mengabdi.”

“Mbak Io? Masyaaallah. Jadi beneran Mbak Io udah di pesantren?”

Kinan mengangguk.

“Kamu mau ikut aku pulang?”

“Nggak, nggak bisa. Davina itu calon istri saya!”

Zidan menghalangi. Kinan mendongak menatap laki-laki di hadapannya, ia mengulas senyum.

“Alangkah lebih baiknya jika kamu datang ke rumah kami, meminta baik-baik seusai dengan ketentuan syariat kepercayaan kita.”

“Bu Kinanthi benar, Le. Kamu nggak boleh menghak-I Davina. Kamu belum punya ha katas dia. Davina, mama memang berat melepasmu tetapi kamu harus pulang ke tempat di mana kamu seharusnya berada. Secepatnya mama akan datang ke sana melamarmu dan menikahkan anak laki-laki mama ini denganmu jika keluargamu mengijinkan.”

“Ma, Davina kan yatim piatu. Nggak perlu ijin ke siapa-siapa. Nikah pun bisa dengan wali hakim.”

Ibu Zidan menjewer telinga putranya. “Kamu pikir calon mantu mama ini anak kucing? Ha? Bisa seenaknya kamu ajak pulang, kamu kasih kendang, kasih makan, dan kamu miliki begitu saja? Dia masih punya keluarga lain yang bisa dia mintai pertimbangan meski kedua orang tuanya sudah tidak ada.”

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang