Kasus Kesebelas

99 17 0
                                    

Kidung terdengar mendayu-dayu. Semerbak aroma wangi menyeruak, memaksa indera untuk menyerap harumnya dalam hela nafas sang dara.

Musik klenengan menyertai, lenggok bayang biduan yang tengah menyaji suara pun sesuai irama.

"Cleo, cepat ganti bajumu. Jangan buat bapak marah."

Cleo terkesiap. Sosok kakaknya yang memakai kebaya hitam dan jarit bermotif parang terlihat sibuk memoles wajahnya.

"Cepat! Pakai bajumu!"

Cleo menatap setelan kebaya di tangannya.

Langkah kaki dengan suara ketukan tongkat terdengar semakin mendekat. Gadis yang tadinya duudk di atas ranjang itu segera berdiri dan mengambil baju untuk bersembunyi di sudut bilik.

"Cah Ayu, sudah siap?"

"Sudah, Pak."

"Mana adikmu?"

Nadanya tak selembut saat ia menanyakan kesiapan Sarah.

"Baru ganti baju. Bapak tenang saja."

"Bocah ndak berguna itu harus kamu didik benar-benar. Biar ndak malu-maluin Bapak."

"Iya, Pak. Cleo kan masih kecil. Wajar kalau dia belum paham. Salah kita juga jarang melibatkan dia, jadi ya dia masih harus banyak belajar."

Cleo masih enggan mengganti bajunya.

"Dresanala! Cepat keluar! Bapak sama Mbakmu sudah siap! Jangan buat Eyangmu menunggu!"

Teriakan itu membuat jemari Cleo gemetaran. Tangannya bekerja sendiri, melucuti pakaian yang ia kenakan dan menggantinya dengan kebaya yang sudah disiapkan kakaknya.

Saat ia keluar, Sarah menariknya. "Sini. Jadi perempuan harus cantik. Jangan keluar kamar tanpa dandan. Kamu harus selalu rupawan. Biar semua laki-laki itu hatinya tertawan. Kalau sudah begitu, apapun yang kita inginkan pasti akan dikabulkan."

Cleo yang hanya bisa menutup mata dan membiarkan kakaknya mencorat-coretkan make up di wajah polosnya membuka suara.

"Kak, yang mengabulkan apa-apa itu Tuhan. Bukan ma-"

"Diam. Jangan pernah menyebutkan kalimat seperti itu lagi. Bapak tidak akan suka."

Cleo terdiam. Mata kakaknya memerah.

"Jangan kecewakan Kakak. Jangan persulit hidupmu. Kamu harusnya bersyukur dan berterima kasih karena Bapak sudah memberimu hidup. Kamu harus ingat, bapak yang memberimu hidup. Bukan yang lain."

"Cah Ayu, ayo, Nduk," panggil seseorang dari luar.

Sarah menggandeng Cleo keluar setelah memastikan jika wajah adiknya terpoles sempurna.

Seperti biasa, Cleo diharuskan berjalan di belakang kakak dan laki-laki berkumis yang tak pernah ia tatap wajahnya itu.

"Jangan berulah atau kamu mau menyusul ibumu sekarang juga."

Suara itu terdengar sangat mengintimidasi. Bayangan jeritan sang ibu yang masih terngiang mendadak mengulik trauma masa kecilnya.

***

"Cle? Cleo?"

Tangan dingin Buma membuat gadis itu membuka mata.

Cleo mencoba mengatur nafasnya. Ia mimpi buruk lagi.

"Ja-jam berapa ini, Mas?"

"Tiga."

Gadis cantik itu memposisikan dirinya duduk.

"A-aku salat dulu." Cleo terbata berbicara karena nyawanya masih belum terkumpul.

"Salat apa, Mbak?" Pertanyaan Zidan terdengar.

"Tahajud," jawab Cleo sembari berdiri.

"Wuah, Mbak Cleo salat juga ya?"

Zidan sejujurnya hanya bercanda tetapi hal itu cukup menyinggung perasaan Cleo.

"Iblis pun menyembah Allah. Dia hanya tidak mau menyembah Nabiyullah Adam alaihissalaam yang tercipta dari tanah, sedang iblis tercipta dari api. Jadi, anak iblis boleh juga kan menyembah Allah?"

Gadis itu mengucapkannya sembari masuk ke dalam kamar mandi.

"Wah, Bang, pilihan abang nggak salah emang. Nggak cuma cantik dan mandiri. Mbak Cleo juga sholiha," bisik Zidan.

Buma menoyor kepala Zidan. "Jangan pernah merendahkan wanitaku."

Zidan meringis. Ia hanya berniat bercanda tetapi sepertinya penerimaan dua orang di sana tidak sesuai target.

"Bang Zidan?"

Suara parau dari sosok yang terbaring di ranjang terdengar.

"Dalem, Sayang."

Zidan mendekat.

"Jangan ke sini. Mbak Cleo mana?"

"Apa Dek? Mau minum?"

Davina mengangguk. Cleo yang sudah mengambil wudu, membiarkan sisa-sia air dingin itu menempel di wajahnya.

Tanpa polesan make up, hanya air wudu saja, wajahnya terlihat mempesona.

Buma memejamkan mata sebelum mengubah posisi hadapnya. "Cle, aku ke masjid. Kalau ada apa-apa telpon."

"Iya."

Singkat. Sangat singkat. Buma melirik Cleo. Meski kadang bibir itu berucap berlebihan, tetapi ketika hanya satu patah kata saja yang terucap tanpa diiringi senyum dan kalimat lain, kenapa rasanya aneh?

Davina mengamati dua orang di sana bergantian sembari menyeruput air mineral dari pipet.

"Mbak Cle marahan sama si Bapak?" Davina memberanikan diri bertanya pasca suara pintu telah tertutup.

"Hm?"

"Itu, kenapa kok Pak Polisi tadi ngeliatin Mbak kayak mau ngomong tapi kok kayak nggak jadi."

Cleo mengembus napas. "Biarin lah. Dia itu emang ekspresinya suka bikin orang salah paham. Apa yang dia pikirkan sama yang tergambar di wajahnya itu kadang berkebalikan. Kamu jangan heran sama dia. Bentar ya Mbak salat dulu."

Davina mengangguk. Ia masih belum bisa banyak gerak. Lukanya masih sangat nyeri. Ternyata begini rasanya tertembak.

Bapak kira-kira sedang apa ya? Apa dia khawatir sudah menembakku? Apa dia ingin tahu kondisiku? Kenapa bapak tiba-tiba melakukan hal seperti kemarin? Aku belum sempat bertanya pada Kinasih tentang rahasia apa yang sebenarnya bapak sembunyikan dariku dan bunda selama ini. Apa ini ada hubungannya dengan perjalanan dinas rutin bapak di daerah gunung tumpul?

Kecamuk pikiran mulai merajai benak Davina. Tubuhnya pun mulai merasakan campur aduk nyeri, perih, dan sakit yabg tak terdefinisi pasca seluruh efek obatnya menghilang.

✨✨✨✨✨✨✨✨

Assalamualaikum

Hari ini kita marathon ya

🥰🥰🥰🥰

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang