Kasus Keduapuluh

98 19 5
                                        


 

Gusar. Satu kata yang bisa menggambarkan keadaan sosok Zidan sekarang. Davina, gadis yang sedari tadi memperhatikannya membuka suara.

“Abang?”

Panggilan itu lembut terdengar. Zidan menoleh, ia berusaha menyungging senyum.

“Hei, udah nggak sakit?”

Davina tahu, Zidan tengah mengalihkan pembicaraan. Kemarin, ia tak muncul seharian. Baru pagi tadi ia kembali dan langsung tertidur, kini ia bangun dengan wajah cemas, seperti tengah memikirkan sesuatu yang mengerikan.

“Abang kayaknya yang sakit,” ucap Davina.

Zidan kembali tersenyum, kali ini dengan sedikit berbeda. Ia menggeser posisi duduknya di lantai, agar menyejajari kaki Davina dan ia rebahkan kepala di lutut sang dara.

“Capek?” tanyanya pelan sambil mengelus kepala dengan rambut hitam legam di sana.

Tak ada yang terucap selama beberapa saat. Zidan tidak tahu kenapa bisa ia seperti itu di depan Davina. Padahal itu kebiasaan yang ia lakukan hanya dnegan ibunya.

“A-itu … aku… Bang Buma… hilang di hutan sama Mbak Cleo.”

Davina mendadak panik. “Astagfirullah! Jadi, Mbak Cleo nggak datang ke sini karena hilang?”

Zidan mengangguk lemah. Mata pria itu memerah. Davina mengelus pipi kekasihnya lembut.

“Abang pergi aja, aku nggak apa-apa di sini. Aku habis ini mau pulang ke kos Mbak Cleo seperti apa yang dia pesen waktu terakhir pergi. Kunci duplikat kosnya ada di aku.”

“Nggak Vin, aku nggak bisa ninggalin kamu lagi. Kemarin aku udah janji buat nemenin kamu, tapi aku malah ke hutan nyariin Bang Buma. Sekarang wkatunya aku nemenin kamu. Ak-“

“Bang Buma lebih penting dari aku, Bang. Sana berangkat. Aku tinggal nunggu administrasi aja kok, tadi dokter bilang aku boleh pulang. Besok tiga hari lagi kontrol. Cuma itu pesennya.”

Zidan mendongak menatap Davina. Entah kenapa, pipi sang dara memanas. Zidan benar-benar sudah berubah. Dia, jauh berbeda dengan Zidan yang dulu. Pandangan matanya kini meneduhkan. Jujur, rasa yang dulu Davina kubur, kini kembali bangkit.

“Aku anter kamu pulang dulu aja ya?”

“Tapi… aku nanti mau mampir ke makam Bunda dulu. Abang nggak usah khawatir. Sana pergi. Cari Bang Buma.”

Notifikasi ponsel Zidan terdengar. Salah satu sosial medianya memunculkan tanda ada pesan langsung yang masuk.

Zidan mengambil ponsel dari sakunya dan melihat sosial media berlogo kamera itu.

“Vin, ini akunmu kan? Ada yang DM ternyata.”

Zidan menyerahkan ponselnya pada Davina. Ya, Davina memang sempat meminjam ponsel Zidan untuk membuka akun sosial medianya karena ponsel Davina hilang, entah terjatuh di TKP atau dimana.

Gadis itu membuka pesan di sana. Ada akun ibu tiri yang juga mantan rekan sekelasnya saat SMA dulu.

“Siapa? Kenapa? Vin?”

Melihat Davina membaca dengan mata terbelalak, Zidan mengambil ponsel itu dan membaca pesan di sana.

“Dav, kamu di mana? Ayahmu diserang orang-orang gila itu lagi. Ayah terluka. Ayah mengulang-ulang kata maaf ke kamu. Sementara ayahmu aku bawa ke kampung. Kamu masih ingatkan kampungku? Susul kami ke sini, Dav. Maaf, aku nggak bisa nyari kamu lebih lama lagi kemarin karena kondisi ayahmu yang terluka dan adik-adikmu diperutku juga membuat kondisiku tidak selincah dulu. Tolong balas pesanku. Dan, maafkan ayahmu, meski aku tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Jaga diri baik-baik utamanya dari para iblis itu. Jangan pulang ke rumah ayahmu karena kamu juga diincar oleh mereka. Aku sudah mempacking baju dan barangmu. Ada di rumah adik ibumu. Tapi, adik ibumu sedang tidak di rumah waktu itu jadi aku taruh di teras samping. Cari di sana. Ingat jangan pulang ke rumah. Jaga dirimu. Segera hubungi aku jika kam sudah membaca pesan ini.”

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang