Kasus Keempat puluh enam

148 17 2
                                    

Lembayung senja telah berlalu, waktu ini adalah waktu yang paling ditunggu oleh Cleo. Ia, menatap indahnya bintang di langit. Mengagumi atas keindahan ciptaan Sang Maha Kuasa.

"Nduk."

"Abah Yai."

Cleo memundurkan posisi duduknya. Sosok laki-laki sepuh dan istrinya itu mendekat.

"Tadi, laki-laki yang tempo hari Pakde ceritakan, datang ke sini. Dia setuju untuk berkenalan denganmu. Besok. Apa kamu besok ada acara?"

Gadis itu menggeleng. "Mboten wonten, Pakde. Besok cuma membenahi administrasi perpus."

Sang paman menatapnya dengan binar penuh harap. "Nduk, Pakde yakin. Dia bisa membimbingmu sebaik-baiknya. Sudah waktunya kamu bahagia dengan keluarga kecilmu. Terlalu lama kamu prihatin, hidup dalam ombang-ambing cobaan. Kemuliaan di hari tuamu, sudah pasti nanti kamu dapatkan sebagai buah kesabaranmu."

"Aamiin ya rabbal alamin. Pangestunipun, Abah."

Umi Aminah tersenyum dan membelai kepala keponakannya. "Io, Umi benar-benar bahagia, kamu bisa pulang ke sini dengan selamat. Selama ini, bahkan sampai detik akhir meninggalnya eyangmu. Beliau masih meminta kami mencari keberadaanmu, Nduk. Kamu secantik ibumu, tetapi posturmu mirip ayahmu."

"Iya, mirip sekali. Kamu benar-benar perpaduan keduanya. Dulu, waktu kamu lahir, Umi yang menemani ibumu karena ayahmu masih dinas. Tapi, di saat kamu keluar, pas ayahmu datang. Dia langsung mengazani kamu. Umi masih ingat sekali. Kulitmu putih bersih, bibirmu merah, sempurna. Orangtuamu sangat menyayangimu dan benar-benar menganggapmu anugrah terindah dari Allah."

Rasa trenyuh membuat Cleo hampir menangis. Setiap kali berbincang dengan paman dan bibinya, ia selalu disuguhi kisah tentang mendiang orang tuanya.

"Abah, nanti kalau Io nikah, apa Abah mau menjadi walinya?"

"Yo jelas, Nduk. Bapakmu itu adikku.  Adik kandungku. Aku yang akan menikahkanmu nanti, kamu tanggung jawabku, termasuk dengan memilihkan jodoh untukmu."

Cleo mengangguk. Ia sudah pasrah, apapun keputusan paman dan bibinya, ia ikut saja.

*****

Bumantara, pemuda yang kini duduk sembari memainkan ponsel itu mendapati postingan foto full senyum dari kakak tiri dan sepupunya.

"Dasar, alay." Ia bergumam.

Buma tak tahu jika Angkasa nekat mengikuti Davina untuk terbang ke Jakarta. Janjinya hanya sehari dan ini sudah dua hari mereka tak pulang juga.

Awas aja kamu Angkasa kalau sampai pulang dan adikku kenapa-kenapa, aku remukin tulangmu.

Batin Buma menggelora, mengisyaratkan kekesalan pada orang yang pernah menyakiti adiknya.

"Assalamualaikum."

Gus Emir muncul dari bagian dalam rumah.

"Wa alaikumussalam. Gus."

"Maaf ya agak terlambat. Kamu datang sendiri?"

"Nggih, Gus. Biasanya ke mana-mana sendiri."

Obrolan basa-basi ke sana ke mari begitu serunya, sampai ada dua orang datang.

"Gus Em, ada tamu di masjid."

Salah satu santri mengabarkan. "Sekarang?"

"Sudah menunggu dari tadi, Gus."

"Ya Allah, ya sebentar. Mas, saya pamit dulu nggih. Umi, tolong dilanjutkan acaranya, insyaaallahs sebentar lagi abah rawuh."

"Nggih, Bi. Mbak Bira di masjid sama Mbak pondok. Nanti titip pesen suruh pulang dulu ya, Bi."

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang