Kasus Ketiga

124 17 9
                                    



Aroma jahe menguar. Jadah bakar tersaji disamping tempe bacem.

"Yakin kamu makan di sini?"

Buma agak ragu dengan pilihan Cleo. Gadis itu nyatanya tak segan makan di pinggir jalan, dengan alas tikar. Di bawah tiang listrik, menyepi. Di seberang, ada segerombolan anak muda tengah bernyanyi-nyanyi sembari menenggak minuman mereka.

"Kangmas butuh ini. Habis dingin-dingin di bioskop, harus minum yang hangat. Alhamdulillah lumayan kan bisa tidur dua jam?"

Cleo santai sekali, duduk sembari memakan tempe bacem bakarnya.

"Kamu nggak cocok makan di sini. Penampilanmu... terlalu priyayi."

Cleo terkikik. "Kalau menurutku, tempat itu nggak penting. Bukan dimana tapi sama siapa. Mau di tempat yang biasa aja, asal sama orang yang bisa membuat nyaman, pasti tetap istimewa rasanya. Sebaliknya, meski di sangkar emas, kalau sama orang yang kita benci, orang yang membuat kita takut, jelas rasanya seperti neraka."

Buma meneguk jahe hangatnya.

"Kalau sekarang, pilihan pertama atau kedua?"

Cleo menatap Buma. "Sementara yang pertama. Karena, meski hubungan kita nggak jelas, Mas Buma bikin aku nyaman."

"Aku bikin nyaman? Nggak waras kamu."

Buma dan Cleo saling tatap sebelum sama-sama tertawa. Ya, mereka adalah dua orang aneh yang tengah duduk bersama menikmati sajian yang mungkin anak muda jaman sekarang tak akan menyukainya.

"Sebagian orang bilang aku batu. Sebagian orang bilang aku garang. Kaku, tidak menyenangkan. Hanya Bening, adikku, yang menganggapku sebagai manusia normal. Tapi lama-lama dia bereskpresi seperti orang lain juga ketika melihat tingkahku. Baru kamu yang menganggapku seolah menyenangkan."

Cleo masih menyecap susu hangatnya.

"Sebagian orang bilang aku aneh, sebagaian lagi bilang aku jalang. Murahan, tidak pantas disebut manusia, tapi Mas memperlakukanku seolah aku ini manusia."

Buma melongokkan kepala ke balik punggung Cleo.

"Ngapain?" tanya Cleo heran.

"Nggak, memastikan aja. Kamu berekor atau tidak. Siapa tahu kamu rubah ekor sembilan atau mungkin putri duyung?"

Cleo tertawa lepas. "Memangnya kenapa?"

"Siapa suruh bilang kamu bukan manusia."

"Orang bilang aku anak iblis... Bukankah itu artinya aku bukan manusia?" tanya Cleo.

Pertanyaan sang dara membuat Buma tersenyum.

"Kamu tahu... Manusia justru lebih mengerikan dari iblis. Iblis itu taat pada Allah. Dia menyembah Allah. Hanya saja, dia tidak mau menyembah Adam. Hanya sekali menolak permintaan Allah. Tapi, lihat, manusia. Lebih dari separuh manusia di dunia ini tak mau menyembah Allah. Itu artinya manusia lebih mengerikan dari pada iblis. Ya kan? Allah saja didustakan, dipersekutukan. Naudzubillah."

Cleo menatap Buma. Ada sorot kagum di matanya. Tak ia sudahi tatapan itu selama beberapa menit, hingga sang obyek tatap merasa tak nyaman. Buma menutup kepala Cleo dengan jaketnya, karena salah tingkah.

"Kedip!" tegasnya.

Cleo kembali tertawa. Ia mengambil jaket Buma yang menyampir di kepalanya.

"Kenapa Kangmas bisa sekeren ini? I wonder, sehebat apa orangtuamu sehingga bisa memiliki putra sekeren kamu yang nggak cuman goodlooking tapi juga good attitude, well educated, paham agama juga."

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang