Kasus Ketujuhbelas

86 14 0
                                    

Suara seseorang tengah mengaji terdengar. Cleo melongokkan kepalanya yang masih tertutup mukena. Ada sosok jangkung yang tengah duduk menghadap ke sebalik terbitnya mentari. Arunika pagi itu mulai mempercantik cakrawala.

Namun, indahnya tak lebih indah dari gambaran sosok tampan yang tengah memejamkan netra sembari melantunkan ayat demi ayat kitab Allah yang ia hapal. Cleo terlena sejenak. Segera ia sadar jika ia telah menodai pria itu. Entah kenapa semakin lama rasanya semakin kentara saja jarak yang terjalin di antara keduanya.

Vibes agamis Buma justru merasuk ke dalam dirinya. Padahal awalnya dia yang merasuki Buma dengan gaya ceplas-ceplos dan tingkah seenak jidatnya.

Cleo segera menyudahi sesi mengagumi Buma-nya. Ia harus fokus ke tujuan awalnya hari ini. Ia harus mencari tempat tinggal sang ibu.

“Mau ke mana?”

“Nyari Ibu.”

“Dek, kita belum bicarakan ini secara matang.” Buma masuk lewat jendela yang kini bisa digeser bak pintu di kamar Nobita.

“Mas di sini aja. Nanti aku balik ke sini.”

Cleo memasukkan mukenanya ke dalam ransel. Buma menatap gadis yang entah mengapa semakin hari semakin menarik di matanya.

“Dek,” panggil Buma.

Cleo berusaha menghalau rasa hatinya yang mencelos akibat dipanggil selembut itu untuk pertama kalinya.

“Aku bukan adikmu.”

Cleo mengatakannya sembari menyandang tas ransel itu.

“Mas juga bukan kakakmu, Dek.”

Buma tak mengalihkan tatapnya.

“Jaga pandangmu, Mas. Kita bukan mahram. Semalam kita sudah menyalahi aturan. Apa Mas berharap malam ini kita akan bermalam bersama lagi? Naudzubilah.”

Cleo mendadak menjadi gadis agamis. Buma menyunggingkan senyum.

“Apa kemarin kepalamu terbentur?”

Gadis itu mendengkus. “Kenapa? Ha? Kamu mau bilang kenapa aku mendadak menjunjung tinggi norma agama? Brengsek-brengsek gini, aku itu manusia normal. Aku gadis yang takut ternoda sebelum waktunya.”

Kali ini Buma terbahak mendengar ucapan Cleo.

“Hih, nyebelin!” kesal Cleo.

Buma memotong jarak, sengaja membuat Cleo berjalan mundur dan terhimpit tembok.

“Ka-kamu mau ngapain?!”

Cleo yang biasanya menantang dirinya, kini berbalik seperti anak kucing yang ketakutan. Entah mengapa hal itu membuat Buma merasa gemas.

“Kita cuma berdua di sini,” bisik Buma.

“Astagfirullahal adzim! Dasar mesum! Nyesel aku pernah kagum sama kamu! Awasa ja kalau aku sampai ketemu sama bapak dan ibuku nanti, aku bakal ngaduin kamu karena kamu udah ngelecehin aku!”

Melihat Cleo berapi-api, Buma tertawa.

“Bilang saja.”

“Oke! Aku bakal bilang! Bapakku bakal nuntut kamu, Mas!”

Buma menyugar rambutnya yang mulai panjang. “Aku nggak takut. Aku bakal tanggung jawab.”

Cleo mendorong Buma menjauh dan segera berlari menyelamatkan diri.

Buma meraih barang yang bisa ia bawa sebelum menyusul Cleo. Ia pun meninggalkan jejak agar nanti bisa kembali pulang ke tempat penginapan sementara mereka.

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang