Kasus Khusus

176 9 1
                                    

"Tante, kalau yang ini gimana?"
"Dimasukkan di sini dulu, Nak. Terus nanti ditarik ujungnya, seperti ini."
Mata Faraz mendapati sang putri tengah duduk sembari memegang sesuatu. Perlahan benda itu terlihat jelas di matanya.
Sebuah alat rajut yang dulu sering digunakan mendiang istrinya untuk mengisi waktu luang, kini diwariskan pada sang putri, Nirbita.

"Wah, bisa Tante, bisa! Aku mau bikin syal buat Bapak. Karena syal bapak yang dibuatin Ibu udah rusak. Ujungnya udah lepas-lepas simpulnya."

Wanita yang duduk memangku Nirbita itu tersenyum. "Wah, pinternya. Ibumu dulu memang jago merajut. Waktu kami di asrama dulu, ibu sering bikin rajutan, nanti Tante yang jual waktu Sunday Morning."

"Tante beneran kenal sama ibu ya?"

"Iya, ibumu itu pinter banget. Dulu Tante sering diajari sama ibu. Kan sekolahnya kami asrama. Tante masih SMP dan ibumu udah SMA. Dulu ibunya Bita yang ngasuh Tante."

Faraz terbatuk. Ah tidak, ia sengaja batuk demi memancing reaksi dari dua perempuan di sana.

"Bapak? Pak, liat aku diajarin sama Tante Cici loh. Aku mau buat syal buat Bapak."

Christy merapikan posisi duduknya.

"Wah, anak bapak udah pinter sekarang. Udah bilang terima kasih sama tantenya?"

"Udah kok, ya kan Tante?"
Christy mengangguk dan tersenyum. Faraz tanpa ijin, duduk di anak tangga dekat kaki sang putri.

"Dulu sekolah di Bintang Harapan juga?" tanya Fatraz.

Christy menatap lawan bicaranya. "Iya, Mas. Saya tadi ketemu sama Bunda Dewi, saya terkejut ternyata Mbak Aishy sudah berpulang."

Faraz mengangguk. "Aishy sudah berubah menjadi kemasan sachet."

Nirbita yang merasa ditunjuk oleh ayahnya pun mengerucutkan bibir. Ia benar-benar mirip sang ibu meski tingkahnya kadang mirip sang ayah.

"Iya, Bita mirip dengan Mbak Aishy. Cantik banget." Christy memeluk gemas gadis kecil dipangkuannya.

"Tante, Tante ikut pulang aku ke rumah yuk. Nanti aku ajak mainan rumah boneka."

"Mmm... next time ya. Ini kan udah malem, mungkin nanti waktu weekend Tante bisa main ke rumahnya Bita."

Nirbita menyipitkan mata menatap Christy. "Janji?"

Melihat ekspresi Nirbita, Christy terkikik. Anak itu benar-benar mirip dengan Aishy. "Insyaaallah ya. Nanti Tante coba ijin dulu ke Daddy sama Maminya Tante. Oke?"

"Biar aku aja yang ijinin ya Tante. Ya?"

Nirbita langsung beranjak dari pangkuan Christy dan berlari ke arah teras. Faraz hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat sang putri berlarian tanpa takut menerjang gelap.
"Pas ya dengan namanya, Nirbita. Sama sekali nggak takut apapun."

Faraz menoleh, ia menatap Christy yang tengah melihat ke arah sang putri dengan tatapan kagum dan gemas.

"Ya, dia lahir tengah malam. Dia tidak takut apapun. Dia bernafas pertama kali di dunia saat ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Mungkin keberanian sang ibu menurun lewat sana."

Christy mendadak merinding. Mengapa orang sebaik dan secantik itu bisa memiliki takdir hidup yang begitu singkat. Sedang dirinya, yang hanya sampah belaka, malah diberikan umur yang lebih panjang.

"Andai bisa bertukar tempat, saya ingin bertukar dengan Mbak Aishy. Biar Mbak Aishy tetap di sini, dengan kebahagiaan yang luar biasa di hidupnya, sementara saya lelap tidur dalam dekapan kegelapan. Kenapa sosok sebaik dia, harus menjalani takdir menyedihkan seperti ini."

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang