Kasus Ketigapuluhempat

94 14 7
                                    

Sayup-sayup suara adzan terdengar. Gadis yang tertidur di atas sajadah itu membuka mata. Di saat yang sama ia melihat sosok cantik yang tengah menggendong anak balita tersenyum ke arahnya.

“Subuh, Mbak.”

“Umi, Bira ngantuk. Bira mau bobok aja.”

“Bira nggak sayang Allah? Hm? Itu Allah panggil Bira.”

“Tapi Bira ngantuk Umi.”

“Bira tahu, Allah itu sayang banget loh sama Bira.”

Netra balita itu mengerjap-ngerjap. “Iya deh, iya. Bira sayang kok sama Allah. Maafin Bira Ya Allah, Bira mau jamaah subuh kok sama Umi.”

Melihat kehangatan ibu dan anak itu membuat Cleo teringat akan dirinya dulu. Ia seperti dejavu.

Ibu, nanti kalau kita ketemu lagi di surga, Cleo nggak akan pernah lepasin ibu lagi. Cleo bakal terus ngikutin ibu dan ayah ke manapun ayah dan ibu pergi.

“Ante Io, kenapa nangis?”

Cleo tersadar. Ia menggeleng. “Enggak kok. Ante kangen ibunya Ante sayang.”

“Cup, cup. Nanti Ante bakal dapat ganti Umi kayak aku. Ibunya aku juga hilang tapi Allah ganti ibu dengan Umi yang jauh lebih sayang sama aku daripada ibu, gitu kata Abi.”

Cleo terkekeh. “Iya sholiha. Terima kasih sudah menguatkan Ante Io.”

Anak itu mengangguk dan tersenyum sebelum memeluk sosok yang baru saja menikah dengan ayahnya itu.

“Ayo Mbak, kita ke masjid.”

“Aku wudhu dulu ya, tadi ketiduran habis salat lail.”

Gadis itu, sudah sebulan berada di lingkungan baru. Lingkungan di mana ayahnya lahir dan tumbuh besar sebelum akhirnya mengabdi pada negara sebagai seorang prajurit. Di awal ia berada di tempat itu, sambutan baik dari keluarga ayahnya membuatnya seperti menemukan air di tengah kekeringan hidupnya.

Pada akhirnya, ia menemukan apa itu kehangatan keluarga, keindahan, dan sentuhan agama yang benar-benar terasa di sana.

“Ning Cleo, masyaallah cantiknya. Padahal baru bangun tidur loh.”

“Iya, iri banget ih pengen punya kulit kayak gitu.”

“Masyaaallah cantik banget. Cewek surga banget.”

Cleo hampir setiap hari mendengar pujian-pujian itu baik secara langsung maupun tidak. Ya, selentingan kagum dari para santriwati acap kali sampai ke telinganya.

Ya Allah… begitu baiknya Engkau. Menutup segala aibku dan membuat orang-orang ini menaruh kagum. Padahal, jika mereka tahu masa laluku yang liar dan jauh dari jalan lurus-Mu, pasti mereka sudah memandangku jijik dan hina seperti binatang. Mohon ampun atas segala kejahiliyahanku dulu, Yaa Rabb.

Semakin hari, Cleo semakin menemukan jati dirinya. Ketenangannya dalam iman islam.

“Mbak Io! Mbak!”

Saat sampai di masjid ada sosok lain menyambutnya.

“Dalem, kenapa? Eh ibumu gimana kabarnya? Katanya kemarin dibawa ke rumah sakit?”

“Adikku udah lahir Mbak, adikku cewek cowok. Gemes banget, Mbak.”

“Alhamdulillah, loh udah lahir ya? Belum ada 9 bulan kan?”

“iya Mbak tapi nggak tahu kemarin brojol gitu aja. Aku sama ayah nemenin ibu. Gemes banget loh mereka.”

Cleo sangat bahagia mendengar cerita Davina. Dua hari sejak ia tinggal di pesantren ini, Davina menyusul. Mereka sepertinya memang terikat takdir. Davina akhirnya ikut dengan ayah tiri dan ibu sambung yang dulu adalah teman sekolahnya. Ayah Davina pun kini benar-benar berhijrah, meninggalkan segala amalan buruk yang pernah ia lakukan, meski ia harus memulai segalanya dari nol, menjadi buruh di kebun pesantren.

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang