Kasus Keenam

91 16 0
                                    

Gamis pink dengan jilbab bermodel pashmina oval curve berwarna senada menjadi pilihan Cleo malam itu. Buma yang tengah berdiri di ambang pintu tempat di mana Zidan berada bersama gadis korban penembakan tadi, menolehkan kepala.

“Pink?”

Gumaman Buma membuat Cleo mencetak senyum di bibir. “Latihan. Cocok nggak dikulitku?”

“Latihan?”

“Iya, cepat atau lambat, aku bakal turun arisan pakai seragam berwarna ini, kan?”

Satu alis Buma naik. Cleo memamerkan deretan gigi putihnya yang rata. “Nggak usah sok bloon. Nggak sabar disebut jadi Nyonya Cleo Bumantara.”

Buma acuh, meski sejujurnya ada kembang api meletup di dadanya. Wajahnya cenderung berekpresi jengkel.

“Nggak usah sok-sokan nolak. Padahal hatinya girang. Ya kan? Car, pacar.”

Cleo terus saja menggoda Buma, hingga akhirnya sang pria mencubit hidung si gadis.

Kejadian cukup mengerikan tadi tak dikira akan berakhir dengan hal semanis yang tersaji di dalam ruangan. Cleo mematung. Di sampingnya Buma menatap dengan wajah tak terbaca. Tangan Cleo tanpa sadar meremas jemari Buma. Ia ingin menyalurkan rasa takjub sekaligus haru saat melihat sosok-sosok yang saling mengungkap cinta pasca terjadinya pertumpahan darah tadi.

“Manis ya. Pertumpahan darah tak selamanya mengerikan, ternyata.”

Buma melirik gadis di sampingnya. Gadis yang tengah mengenakan gamis dengan pashmina menutup kepala itu terlihat jauh berbeda dengan kekasih bohongannya.

“Jangan berekspektasi terlalu banyak pada kami-kami ini. El Zidan melakukan itu hanya karena itu adalah satu-satunya cara dia mengorek informasi lebih jauh dari gadis itu tanpa disadari. Itu trik kuno. Jangan salah pa-“

Cleo mendongakkan kepalanya dan menatap tajam penuh kekeksalan pada Buma. “Ish! Stop! Mau aku gigit bibirmu ha? Ngerusak moment aja ih. Kenapa sih nggak bisa gitu menikmati hidup? Kalian itu manusia bukan robot. Sekali-kali pakai hati.”

Buma menaikkan satu alisnya, ia mengamati perubahan mimic Cleo yang tadi penuh cinta mendadak bengis. Hal itu memancing tawa sang pria. Satu tangan Buma terulur dan menepuk-nepuk kepala gadisnya.

“Shalihanya Mas Buma, nggak boleh marah.” Satu kalimat tanpa nada, terdengar kaku tetapi membuat gejolak di hati Cleo.

Wajah gadis itu memerah. Ia tak bisa berkata-kata. Matanya mendadak berubah sorot. Buma masih mempertahankan senyumannya di sana.

Keduanya saling diam sampai Zidan menyibak tirai penyekat ruangan yang berjarak hampir dua meter dengan keberadaan Buma dan Cleo.

“Bang?”

Buma menoleh. “Hm?”

“Ijin menginap, Bang. Besok pagi saya kembali ke kantor sebelum subuh.”

Cleo mengambil alih pembicaraan dengan cepat. “Nggak boleh! Pacarmu biar aku yang nungguin. Jangan harap aku bakal diam saja membiarkan anak gadis baik-baik secantik itu ditemani polisi gadungan sepertimu.”

Zidan membelalakkan matanya. Ia merogoh saku jaketnya. “Mbak, saya ini as-“

Cleo menyetop ucapan Zidan. “Lemah! Cuma digituin doang udah langsung nyepill identitas. Payah! Nggak cocok kamu direskrim. Pindah aja ke lantas lagi sana. Nggak perlu nyamar.”

Buma tak tahan untuk tidak terkekeh. Ada saja tingkah Cleo yang membuat anggotanya terdiam tanpa kata. Zidan benar-benar mati kutu. Benar kata Cleo, ia cepat sekali terpancing. Dirinya masih harus banyak belajar dari Buma dan seniornya yang lain.

“Aku yang jaga dia, kalian pulang saja ke kantor. Akan lebih aman kalau tidak ada anggota di sini.”

“Tapi kalau sampai laki-laki gila tadi datang menemui kalian, bagaimana?” Zidan khawatir.

Cleo memicingkan mata. “Iya, iya, yang khawatir dan cinta sama ayanknya. Kanngmas, apa Kangmas juga sekhawatir itu sama aku?”

Mendengar petanyaan Cleo, Buma tak menjawab seperti biasanya. Ia hanya melepas jaketnya dan menyampirkan di bahu kekasihnya.

“Tugasmu seperti biasa. Pasang mata.”

“Siap, Ndan.” Cleo menjawab sembari tersenyum.

Setelah mendengar jawaban Cleo, Buma menarik Zidan pergi dari sana.

“Bang, sebentar saya mau pamitan dulu kalau begitu.”

Buma akhirnya membiarkan juniornya untuk berpamitan pada gadis yang tengah dalam pengaruh obat pereda nyeri itu. Ia hanya melihat Zidan dan Cleo memasuki bilik sementara milik kekasih Zidan. Pria itu memasang ear budsnya. Meninggalkan Cleo begitu saja tanpa apa-apa, jelas tak mungkin.

Ia meninggalkan sesuatu di jaketnya. Ya, sebuah alat yang begitu mungil hingga mungkin Cleo tak akan menyadari dia meletakkannya di sana hingga bisa mendengar seluruh percakapan yang Cleo lakukan dengan orang-orang di sekitarnya.

Sebuah kalimat terakhir, Buma dengar dengan sangat jelas dari alat dengar yang ia gunakan.

Sudah, lepas dia pergi dengan doa. Kamu harus terbiasa jadi pasangan hidup anggota seperti dia. Kita satu server. Doakan saja agar Tuhan selalu melindunginya.”

“Apa Mbak Cleo juga jarang ketemu sama pacarnya Mbak?”

“Hmm… kalau ketemu terus, bakal bosen juga. Lagian, kalau mau punya pasangan yang 24/7 bisa nemenin, ya harusnya cari pasangan pengangguran. Yang bakal diem seharian di sisimu. Tapi juga nggak gablek duit.”

Tawa mereka terdengar khas gadis-gadis yang tengah ghibah.

“Bang, ngopi dulu?” Zidan muncul dengan kemejanya yang masih berlumur darah.

“Hmm… kamu pikir kita bakal beneran pergi dari sini?”

Zidan mengerutkan kening.

“Lalu?”

“Masjid depan cukup nyaman buat nunggu pagi. Rumah Allah selalu bisa jadi tempat aman dan nyaman buat pulang, kan?”

Zidan menghormat pada seniornya. Keduanya terkekeh. Ya, tidak mungkin Buma membiarkan gadis-gadis itu bermalam di rumah sakit sendirian.

“Ya Allah, Mas Buma tadi belum makan malem. Gimana ya… semoga dia nggak lupa.”

Suara itu terdengar penuh kekhawatiran di telinga Buma.

Aku nggak lupa, Cle. Barusan kamu ingetin, batin Buma.

 *******

Assalamualaikum

Hai, alhamdulillah akhirnya bisa up...

Insyaallah akan kembali rutin up...
Doain semua urusan kerjaan lancar ya, biar bisa ada waktu untuk ngetik hhe

Desus KasusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang